Di banyak daerah di Indonesia sering sekali ditemui jalan umum seperti
jalan nasional dan jalan provinsi ditutup sebagian untuk tempat resepsi
perkawinan atau takziah kematian. Barangkali sidang pembaca pernah
melihat kejadian serupa?
Parahnya, sebagian besar diantaranya yang pernah
penulis temui, tidak ada membuat plang pernyataan maaf atas gangguan
fasilitas umum (fasum) dan rambu pengalihan jalur lalu lintas. Yang
lebih berbahaya, terutama selepas tikungan, tidak ada tanda berupa
pemberitahuan jika ada penutupan jalan, sehingga selepas tikungan
tiba-tiba berhadapan dengan jalan yang ditutupi palang, kayu, drum
bekas, atau ban bekas. Gubrak! Pernah sekali penulis melihat seorang
pengendara motor terpeleset lantas menabrak ban bekas penghalang jalan.
Menutup fasum berupa jalan untuk kepentingan
pribadi sangat tidak beradat, tak beretika atau, dengan istilah yang
lebih lugas, biadab. Apalagi jika tanpa pemberitahuan dan permohonan
maaf. Barangkali para ahli sosiologi dan antropologi bisa mengkaji
korelasi kebiasaan mengganggu fasum ini dengan perilaku koruptif.
Anehnya, penutupan jalan demikian selalu diizinkan
oleh Kepolisian setempat. Setidaknya demikian ketika ditanya pada yang
punya hajat, entah benar ada izin atau jangan-jangan tak ada izin sama
sekali.
Penutupan jalan memang diizinkan namun wajib
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU No 22/2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Akan tetapi, dibolehkannya oleh UU
bukan berarti tata etika dan kesalamatan di jalan raya diabaikan begitu
saja.
Syarat-syarat penutupan jalan itu adalah: pertama, penggunaan jalan diluar peruntukannya dapat diizinkan jika ada jalan alternatif.
Kedua, penutupan jalan nasional dan jalan provinsi dapat diizinkan hanya untuk kepentingan umum yang bersifat nasional.
Konsekuensi hukum dari penggunaan jalan diluar
peruntukannya secara melawan hukum tersebut adalah, pihak yang menutup
jalan bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata. Secara
pidana melanggar Pasal 274 ayat (1) dan Pasal 279 UU LLAJ dengan
ancaman satu tahun penjara. Secara perdata dapat digugat dengan dasar
hukum perbuatan melawan hukum, vide Pasal 1365 KUH Perdata.
Jika penutupan jalan yang melawan hukum tersebut
menimbulkan kecelakaan yang mengakibatkan kematian orang lain, maka
dapat dikenakan pasal pidana kelalaian mengakibatkan orang lain
meninggal dunia (Pasal 359 KUHP) dengan ancaman pidana lima tahun
penjara.
Ketiga, penutupan jalan kota/kabupaten dan jalan desa dapat diizinkan untuk
kepentingan umum yang bersifat nasional, daerah, dan/atau kepentingan
pribadi. Di sini jelaslah bahwa penutupan jalan untuk kepentingan
pribadi seperti resepsi pernikahan hanya mungkin diizinkan pada jalan
kota/kabupaten dan jalan desa.
Keempat, pelaksanaan pengalihan lalu lintas akibat penutupan jalan tersebut harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas sementara.
Kelima, mengajukan permohonan izin
penggunaan jalan diluar peruntukannya. Pemberian izin tersebut setelah
pihak yang berkepentingan mengajukan permohonan terlebih dahulu ke
Kepolisian setempat. Dengan permohonan dan pemberian izin tersebut,
selanjutnya pihak Kepolisian menempatkan personilnya di jalan yang
dialihkan sementara tersebut.
Apakah penutupan jalan di tempat Anda sudah memenuhi ketentuan di atas?
sumber:hukum.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar