Rabu, 07 Agustus 2019

Profesor, Dosen, atau Peneliti Asing memang diperlukan?

JAKARTA - Kehadiran profesor, dosen, atau peneliti asing di sebuah perguruan tinggi memang diperlukan. Tapi tidak harus jadi dosen apalagi menjabat rektor. Asing Diperlukan, tapi Tak Harus Jadi Rektor atau Dosen.

Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Panut Mulyono mengatakan kehadiran para peneliti atau profesor asing cukup hanya sebatas mengajar satu semester. Atau bekerjasama dengan dosen setempat untuk meneliti bersama.

"Menurut saya, mitra-mitra dari mancanegara itu tidak harus sebagai dosen tetap. Tapi bisa mengajar satu semester, beraktivitas dengan dosen-dosen kita, meneliti bersama, dosen kita ke sana. Itu sangat bagus karena itu lebih mungkin," katanya usai menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres Jakarta, Rabu (7/8) kemarin.

Dijelaskannya, sebenarnya kampus-kampus negeri selama ini telah menjalin kerjasama dengan mitra asing dalam hal meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Sebaiknya kerjasama itu lebih ditingkatkan daripada mempekerjakan profesor asing menjadi rektor atau dosen tetap di perguruan tinggi negeri (PTN).


Dia mengatakan, untuk bekerja sama dengan mitra asing saja sudah memerlukan biaya yang besar. Tak heran bila kampus negeri harus mempertimbangkan untuk mendatangkan profesor asing.

"Mitra kita di UGM itu ratusan, bahkan ribuan. Tapi untuk kita bisa mendatangkan mereka beraktivitas di UGM untuk mengajar, membimbing dan sebagainya itu juga perlu dana, perlu memberikan insentif, menyediakan tempat tinggal," katanya.

Lebih jauh Panut mengatakan, sebaiknya pemerintah memperbaiki kondisi internal PTN terlebih dahulu. Salah satunya dengan mengoptimalkan keberadaan dosen PNS.

Menurutnya jumlah dosen atau profesor yang dimiliki PTN tidaklah sedikit. Sayangnya, seringkali dosen PNS tersebut memilih menjabat sebagai pejabat struktural di institusi pemerintahan daripada mengajar di lingkungan kampus.

"Kita harus akui internal perguruan tinggi di Indonesia pun perlu perbaikan. Jumlah dosen yang menjabat di struktural itu banyak, sehingga waktu untuk mengerjakan penelitian itu kurang, banyak juga dosen yang dipinjam institusi pemerintah. Itu juga mengurangi aktivitas beliau-beliau itu di bidang Tri Dharma," katanya.

Bahkan tidak sedikit dosen PNS lebih memilih berkiprah di posisi struktural kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian atau BUMN. Sehingga hal itu menyebabkan jumlah dosen berprestasi yang berada di lingkungan kampus justru semakin sedikit.

Akibatnya kampus menjadi sulit untuk dapat memenuhi kriteria yang dapat membawa PTN itu masuk ke dalam daftar publikasi peringkat universitas dunia seperti Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking dan Times Higher Education World University Rankings.

"Jadi persoalannya itu banyak. Bayangkan ketika ada rektor asing ditempatkan di situ, dia harus mengerjakan ini, harus mengerjakan itu. Ya bisalah dibayangkan sendiri," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kehadiran profesor asing merupakan bagian dari kerja sama antara universitas terbaik di luar negeri dengan PTN. Oleh karenanya, JK menyarankan sebaiknya tenaga pendidik asing itu tidak langsung menjabat sebagai rektor melainkan dimulai dari penasihat teknis atau dekan.

Terpisah, Pengamat politik Jerry Massie mengusulkan agar Pemerintah lebih memberdayakan putra bangsa dari pada mendatangkan tenaga asing untuk menjadi rektor. "Banyak putra bangsa Indonesia yang berpotensi dan berprestasi di dunia internasional. Hendaknya pemerintah lebih fokus memberdayakan putra bangsanya, sekaligus memberikan dukungan penuh untuk kemajuan perguruan tinggi," katanya melalui pernyataan tertulisnya.

Wacana mendatangkan rektor asing menurutnya mendapat penolakan dari banyak pihak. Sebab itu sama saja merendahkan bangsa Indonesia, terutama para guru besar di perguruan tinggi ternama. "Banyak putra bangsa Indonesia yang telah lulus program doktor dari perguruan tinggi di mancanegara dan saat ini menjadi guru besar maupun ahli," katanya.

Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies ini menyentil soal perhatian pemerintah terhadap fasilitas di perguruan tinggi yang dinilai kurang diperhatikan. Untuk menaikkan peringkat perguruan tinggi, menurut dia, tidak harus mendatangkan rektor asing, tapi meningkatkan fasilitas serta kualitas proses belajar-mengajar di kampus tersebut.

Jerry melihat, masih banyak perguruan tinggi di Indonesia yang fasilitasnya belum optimal, seperti sistem pembelajaran dan laboratorium. "Indonesia banyak memiliki guru besar dan para ahli yang mampu memimpin perguruan tinggi dengan baik, kenapa mewacanakan mendatangkan rektor asing?," katanya.

Berdasarkan data QS World University Rankings 2020 terhadap 1.000 perguruan tinggi di dunia, ada lima perguruan tinggi terkenal di Indonesia yang masuk dalam ranking dunia dan mengalami peningkatan.

Dari lima perguruan tinggi teratas, hanya Universitas Indonesia (UI) yang mengalami penurunan, yakni dari peringat 292 pada 2019 menjadi peringkat 296 pada 2020. Sedangkan, empat perguruan tinggi lainnya meningkat antara lain yakni, Universitas Gajahmada naik dari peringkat 391 menjadi peringkat 320. Institut Teknologi Bandung (ITB naik dari peringkat 359 menjadi peringkat 331.

Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi menargetkan sedikitnya lima PTN akan dipimpin rektor terbaik dari luar negeri pada 2024. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas PTN dalam menciptakan lulusan di era persaingan global. (gw/zul/fin)

Tidak ada komentar: