Kemarau Basah, Rendemen Tebu Pekalongan Turun
Dwijo mengatakan, kini panen tebu di Pekalongan sudah hampir selesai.
Di Pekalongan ada sekitar 6.000 hektare lahan tebu yang digarap
seribuan petani. Saat ini, lelang gula di Pabrik Gula Sragi Pekalongan
masih sekitar 9.800 per kilogram. Rendemen bagi hasil gula untuk petani
rata-rata 9,8 kilogram per satu kuintal tebu.
Menurut Dwijo, rendahnya rendemen kali ini akibat tingginya curah hujan beberapa waktu lalu. Alhasil, penghasilan petani tebu kali ini mengalami penurunan. Hasil panen tebu tiap satu hektare lahan rata-rata sekitar Rp 12 juta. Pendapatan itu masih dikurangi biaya operasional tebang dan angkut tebu dari kebun ke pabrik gula.
Dwijo menambahkan, kondisi petani tebu semakin terpuruk karena membanjirnya gula impor di pasaran. Murahnya harga gula impor mengakibatkan harga gula lokal terjun bebas. "Impor secukupnya saja, asal bisa memenuhi kekurangan stok di pasaran," ujarnya. Meski harganya jauh lebih murah, lanjut Dwijo, kualitas gula impor sejatinya kalah jauh dengan gula lokal.
Sejak Senin, 16 September, sebagian petani tebu Pekalongan berangkat ke Jakarta. Bersama ribuan petani lain dari berbagai daerah yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), mereka menggelar unjuk rasa di kantor Kementerian Perdagangan, Selasa pagi. Mereka mendesak Menteri Perdagangan Gita Wirjawan untuk menekan tingginya impor gula.
Petani tebu asal Kabupaten Tegal, Fatkhudin, mengatakan importasi gula rafinasi kali ini melebihi jumlah kebutuhan gula rafinasi nasional. "Kebutuhan gula rafinasi nasional hanya 2,1 juta ton per tahun. Tapi yang diimpor mencapai 2,8 juta ton per tahun," kata Fatkhudin.
Fatkhudin yang juga Sekretaris Jenderal APTRI menerangkan, banyaknya gula rafinasi yang harganya lebih murah di pasaran memaksa harga jual gula pasir lokal turut anjlok. Akibatnya, petani tebu kesulitan mengembalikan modal tanam. "Petani tebu juga kesulitan membayar angsuran Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE)," katanya.
Dalam unjuk rasa di Jakarta yang melibatkan sekitar 3.000 anggota APTRI, 300 orang di antaranya petani dari Tegal dan Pemalang. "Kami meminta Menteri Perdagangan agar tidak menambah jumlah pabrik gula rafinasi," ujar Fatkhudin. Selain di kantor Kemendag, unjuk rasa APTRI juga dilakukan di kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Menurut Dwijo, rendahnya rendemen kali ini akibat tingginya curah hujan beberapa waktu lalu. Alhasil, penghasilan petani tebu kali ini mengalami penurunan. Hasil panen tebu tiap satu hektare lahan rata-rata sekitar Rp 12 juta. Pendapatan itu masih dikurangi biaya operasional tebang dan angkut tebu dari kebun ke pabrik gula.
Dwijo menambahkan, kondisi petani tebu semakin terpuruk karena membanjirnya gula impor di pasaran. Murahnya harga gula impor mengakibatkan harga gula lokal terjun bebas. "Impor secukupnya saja, asal bisa memenuhi kekurangan stok di pasaran," ujarnya. Meski harganya jauh lebih murah, lanjut Dwijo, kualitas gula impor sejatinya kalah jauh dengan gula lokal.
Sejak Senin, 16 September, sebagian petani tebu Pekalongan berangkat ke Jakarta. Bersama ribuan petani lain dari berbagai daerah yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), mereka menggelar unjuk rasa di kantor Kementerian Perdagangan, Selasa pagi. Mereka mendesak Menteri Perdagangan Gita Wirjawan untuk menekan tingginya impor gula.
Petani tebu asal Kabupaten Tegal, Fatkhudin, mengatakan importasi gula rafinasi kali ini melebihi jumlah kebutuhan gula rafinasi nasional. "Kebutuhan gula rafinasi nasional hanya 2,1 juta ton per tahun. Tapi yang diimpor mencapai 2,8 juta ton per tahun," kata Fatkhudin.
Fatkhudin yang juga Sekretaris Jenderal APTRI menerangkan, banyaknya gula rafinasi yang harganya lebih murah di pasaran memaksa harga jual gula pasir lokal turut anjlok. Akibatnya, petani tebu kesulitan mengembalikan modal tanam. "Petani tebu juga kesulitan membayar angsuran Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE)," katanya.
Dalam unjuk rasa di Jakarta yang melibatkan sekitar 3.000 anggota APTRI, 300 orang di antaranya petani dari Tegal dan Pemalang. "Kami meminta Menteri Perdagangan agar tidak menambah jumlah pabrik gula rafinasi," ujar Fatkhudin. Selain di kantor Kemendag, unjuk rasa APTRI juga dilakukan di kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar