Dari Batik Pekalongan Mendunia
BATIK dan Pekalongan merupakan dua hal yang tidak bisa
dilepaskan. Selama berpuluh-puluh tahun, batik telah menjadi napas dan
sumber mata pencaharian bagi masyarakat di pesisir utara Jawa Tengah
itu.
Hampir setiap hari di setiap sudut Kota Pekalongan, pembatik tua dan muda, laki-laki dan perempuan, bergelut dengan aroma lilin (malam) dan pewarna, untuk menghasilkan lembar demi lembar kain batik.
Pusat perbelanjaan batik juga tersebar di kota itu, mulai dari pasar grosir hingga butik yang dimiliki setiap pengusaha. Pasar grosir Setono, pasar batik Gamer, pasar batik di Gedung Pengusaha Perbatikan Indonesia Pekalongan (PPIP), Kampung Batik Kauman, dan Kampung Batik Pesindon, merupakan pusat perbelanjaan batik di Pekalongan. Semua menyuguhkan kreasi batik, dari yang berbentuk kain hingga pakaian jadi, dengan berbagai pilihan harga.
Masyarakat mengakui, Pekalongan sebagai salah satu pusat batik nasional. Sekitar 70 persen pasokan batik di Indonesia berasal dari wilayah itu. Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kota Pekalongan, menunjukkan, hingga semester II tahun 2012, jumlah industri batik di daerah itu sebanyak 634 unit usaha, dengan 9.992 tenaga kerja. Di luar industri batik, juga terdapat ratusan industri lain yang mendukung industri batik, antara lain industri tenun, aksesori, tekstil, dan bordir.
Tak hanya di Kota Pekalongan, industri batik juga menyebar di Kabupaten Pekalongan. Pengusaha batik asal Pekalongan dan pengurus Yayasan Batik Indonesia, Romi Oktabirawa, mengatakan, jumlah tenaga kerja batik (tulis dan cap) di Kabupaten Pekalongan diperkirakan mencapai 25.000 orang. ”Mata pencaharian utama masyarakat Pekalongan itu batik dan perikanan,” katanya.
Berubah tapi abadi
Pengusaha batik, yang juga fungsionaris Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Kabupaten Pekalongan, Failasuf, menyatakan, industri batik di Pekalongan pasti akan mengalami perubahan seiring perkembangan zaman.
”Saat orang berlomba kembali ke alam dan memakai pewarna alam, kami juga berupaya memenuhi tuntutan itu. Di sisi lain, didesak juga untuk bisa tetap memproduksi batik murah yang tidak merusak lingkungan. Pasti, lambat laun ada perubahan, termasuk ketika tenaga kerja semakin kurang, karena pemuda memilih jalur pekerjaan lain,” katanya.
Failasuf justru yakin dengan pesatnya perkembangan teknologi, pasti nantinya juga diadopsi dalam industri batik. ”Sekarang saja ada batik tulis, batik cap, juga tekstil motif batik. Di masa depan, inovasi apalagi yang terjadi pada batik, susah diprediksi. Namun, ketika selalu ada orang-orang muda punya semangat melestarikan pusaka bangsa ini, batik akan lestari,” katanya lagi.
Failasuf tak sekadar berucap kosong. Batik kini mendunia. Pengakuan batik sebagai warisan budaya tak benda oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada 2009 merupakan salah satu buktinya. Gerakan bersama revitalisasi batik juga menyebar di 18 provinsi di Indonesia, termasuk Papua. Dengan adanya campur tangan desainer profesional, batik saat ini mampu menyasar golongan muda, sebagai sebuah mode yang penuh gaya.
Menurut Romi, Pekalongan sebagai daerah industri batik, akan selalu menjadi inspirasi bagi batik di Indonesia. Kelebihan Pekalongan dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang saat ini juga merevitalisasi batik, adalah sumber daya alam dan tenaga terampil.
Kebanyakan, transformasi budaya batik di Pekalongan disebabkan faktor kekerabatan atau keturunan. Mereka belajar membatik secara turun-temurun, dari orang tua sebelumnya. Bahkan, akan muncul rasa malu dari anak-anak muda di lingkungan pembatik, bila mereka tidak bisa membatik. ”Ada budaya kekerabatan dan ikatan dengan lingkungan, yang menjadikan mereka memilih membatik,” tuturnya.
Oleh karena itu, meski banyak anak muda yang merantau untuk bekerja di luar kota, dia yakin Pekalongan tidak akan kehabisan generasi pembatik. Namun, sebagai sebuah budaya, batik tetap membutuhkan sentuhan dari pemerintah, serta dukungan masyarakat konsumen, agar memiliki nilai ekonomi yang tinggi. ”Kalau ada pasar, perekonomian meningkat, generasi muda batik pasti akan bertahan,” tuturnya.
Inovasi kain
Kendala bahan baku, seperti kain yang selama ini masih diimpor, mulai dicoba diatasi dengan terus melakukan inovasi. Saat ini, Romi dan kawan-kawannya tengah mengembangkan kain dari serat kayu ekaliptus, untuk diolah menjadi bahan baku batik. Inovasi dalam batik, tak hanya berupa teknik membatik, tetapi juga inovasi bahan baku.
Batik, lanjut Romi, diperkirakan masuk ke Pekalongan sekitar abad XVI, sejak zaman Mataram Hindu. Namun, industri batik mulai berkembang sekitar abad XIX, saat Belanda memperkenalkan pewarna sintesis ke Indonesia.
Hampir setiap hari di setiap sudut Kota Pekalongan, pembatik tua dan muda, laki-laki dan perempuan, bergelut dengan aroma lilin (malam) dan pewarna, untuk menghasilkan lembar demi lembar kain batik.
Pusat perbelanjaan batik juga tersebar di kota itu, mulai dari pasar grosir hingga butik yang dimiliki setiap pengusaha. Pasar grosir Setono, pasar batik Gamer, pasar batik di Gedung Pengusaha Perbatikan Indonesia Pekalongan (PPIP), Kampung Batik Kauman, dan Kampung Batik Pesindon, merupakan pusat perbelanjaan batik di Pekalongan. Semua menyuguhkan kreasi batik, dari yang berbentuk kain hingga pakaian jadi, dengan berbagai pilihan harga.
Masyarakat mengakui, Pekalongan sebagai salah satu pusat batik nasional. Sekitar 70 persen pasokan batik di Indonesia berasal dari wilayah itu. Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kota Pekalongan, menunjukkan, hingga semester II tahun 2012, jumlah industri batik di daerah itu sebanyak 634 unit usaha, dengan 9.992 tenaga kerja. Di luar industri batik, juga terdapat ratusan industri lain yang mendukung industri batik, antara lain industri tenun, aksesori, tekstil, dan bordir.
Tak hanya di Kota Pekalongan, industri batik juga menyebar di Kabupaten Pekalongan. Pengusaha batik asal Pekalongan dan pengurus Yayasan Batik Indonesia, Romi Oktabirawa, mengatakan, jumlah tenaga kerja batik (tulis dan cap) di Kabupaten Pekalongan diperkirakan mencapai 25.000 orang. ”Mata pencaharian utama masyarakat Pekalongan itu batik dan perikanan,” katanya.
Berubah tapi abadi
Pengusaha batik, yang juga fungsionaris Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Kabupaten Pekalongan, Failasuf, menyatakan, industri batik di Pekalongan pasti akan mengalami perubahan seiring perkembangan zaman.
”Saat orang berlomba kembali ke alam dan memakai pewarna alam, kami juga berupaya memenuhi tuntutan itu. Di sisi lain, didesak juga untuk bisa tetap memproduksi batik murah yang tidak merusak lingkungan. Pasti, lambat laun ada perubahan, termasuk ketika tenaga kerja semakin kurang, karena pemuda memilih jalur pekerjaan lain,” katanya.
Failasuf justru yakin dengan pesatnya perkembangan teknologi, pasti nantinya juga diadopsi dalam industri batik. ”Sekarang saja ada batik tulis, batik cap, juga tekstil motif batik. Di masa depan, inovasi apalagi yang terjadi pada batik, susah diprediksi. Namun, ketika selalu ada orang-orang muda punya semangat melestarikan pusaka bangsa ini, batik akan lestari,” katanya lagi.
Failasuf tak sekadar berucap kosong. Batik kini mendunia. Pengakuan batik sebagai warisan budaya tak benda oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada 2009 merupakan salah satu buktinya. Gerakan bersama revitalisasi batik juga menyebar di 18 provinsi di Indonesia, termasuk Papua. Dengan adanya campur tangan desainer profesional, batik saat ini mampu menyasar golongan muda, sebagai sebuah mode yang penuh gaya.
Menurut Romi, Pekalongan sebagai daerah industri batik, akan selalu menjadi inspirasi bagi batik di Indonesia. Kelebihan Pekalongan dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang saat ini juga merevitalisasi batik, adalah sumber daya alam dan tenaga terampil.
Kebanyakan, transformasi budaya batik di Pekalongan disebabkan faktor kekerabatan atau keturunan. Mereka belajar membatik secara turun-temurun, dari orang tua sebelumnya. Bahkan, akan muncul rasa malu dari anak-anak muda di lingkungan pembatik, bila mereka tidak bisa membatik. ”Ada budaya kekerabatan dan ikatan dengan lingkungan, yang menjadikan mereka memilih membatik,” tuturnya.
Oleh karena itu, meski banyak anak muda yang merantau untuk bekerja di luar kota, dia yakin Pekalongan tidak akan kehabisan generasi pembatik. Namun, sebagai sebuah budaya, batik tetap membutuhkan sentuhan dari pemerintah, serta dukungan masyarakat konsumen, agar memiliki nilai ekonomi yang tinggi. ”Kalau ada pasar, perekonomian meningkat, generasi muda batik pasti akan bertahan,” tuturnya.
Inovasi kain
Kendala bahan baku, seperti kain yang selama ini masih diimpor, mulai dicoba diatasi dengan terus melakukan inovasi. Saat ini, Romi dan kawan-kawannya tengah mengembangkan kain dari serat kayu ekaliptus, untuk diolah menjadi bahan baku batik. Inovasi dalam batik, tak hanya berupa teknik membatik, tetapi juga inovasi bahan baku.
Batik, lanjut Romi, diperkirakan masuk ke Pekalongan sekitar abad XVI, sejak zaman Mataram Hindu. Namun, industri batik mulai berkembang sekitar abad XIX, saat Belanda memperkenalkan pewarna sintesis ke Indonesia.
Batik tidak hanya visualisasi gambar, tetapi juga mengandung
visualisasi spiritual. Dalam kain batik terdapat energi mistis
religius, yang tidak dimiliki tekstil lainnya. Dalam sejarah, proses
pembuatan batik diawali dengan ritual, seperti puasa, karena ada
pengharapan atau doa dari makna kain itu, seperti batik wahkyu tumurun,
sido drajat, dan sido mukti. Nenek moyang dulu apabila membatik, juga
langsung berhadapan dengan alam, dan melakukan kontak langsung dengan
flora dan fauna.
Ketua Paguyuban Pencinta Batik Pekalongan, Fatchiyah A Kadir, yang mengusung merek batik Tobal, pun meyakini batik bukan hanya tren sesaat. Dia yang sudah menggeluti usaha batik sejak tahun 1970, menjadi saksi sejarah pasang surut batik.
Saat itu, tahun 1971, batik hampir meredup akibat membanjirnya produk tekstil (printing) bermotif batik. Namun, Fatchiyah membuktikan, dengan mempertahankan batik, ia bisa mengatasinya. Dia menembus pasar luar negeri sehingga justru akhirnya hingga tahun 2007, hanya melayani pasar luar negeri, antara lain Australia, Amerika Serikat (AS), Perancis, dan Kanada.
Kini, dua dari empat anaknya juga total menekuni batik. Putra ketiganya, Umar Ahmad, yang mengenyam pendidikan manajemen di Australia, dan lulus tahun 1992, awalnya sempat memilih bekerja pada perusahaan ekspor impor di Bali. Namun, ia akhirnya memilih pulang ke Pekalongan dan menekuni usaha batik milik keluarganya.
”Batik itu memberikan berkah karena melibatkan banyak orang, dan menghidupi banyak orang,” tutur Umar.
Perkembangan batik makin pesat dalam delapan tahun terakhir. Jumlah tenaga kerja pembatik muda juga bertambah. Dulu, hampir semua pembatik pada usahanya merupakan pembatik tua. Namun, kini sekitar 140 tenaga kerja pada usahanya, atau sekitar 25 persen, adalah pembatik muda berusia di bawah 30 tahun.
”Baju bagian dari hidup. Batik ada di dalamnya. Inovasi selalu ada karena manusia berakal dan kreatif. Di sisi lain, kebanggaan atas keluhuran budaya lokal yang menjadi identitas diri terus ada di hati dan pikiran orang Indonesia,” kata Failasuf. (Siwi Nurbiajanti dan Neli Triana)
sumber
Ketua Paguyuban Pencinta Batik Pekalongan, Fatchiyah A Kadir, yang mengusung merek batik Tobal, pun meyakini batik bukan hanya tren sesaat. Dia yang sudah menggeluti usaha batik sejak tahun 1970, menjadi saksi sejarah pasang surut batik.
Saat itu, tahun 1971, batik hampir meredup akibat membanjirnya produk tekstil (printing) bermotif batik. Namun, Fatchiyah membuktikan, dengan mempertahankan batik, ia bisa mengatasinya. Dia menembus pasar luar negeri sehingga justru akhirnya hingga tahun 2007, hanya melayani pasar luar negeri, antara lain Australia, Amerika Serikat (AS), Perancis, dan Kanada.
Kini, dua dari empat anaknya juga total menekuni batik. Putra ketiganya, Umar Ahmad, yang mengenyam pendidikan manajemen di Australia, dan lulus tahun 1992, awalnya sempat memilih bekerja pada perusahaan ekspor impor di Bali. Namun, ia akhirnya memilih pulang ke Pekalongan dan menekuni usaha batik milik keluarganya.
”Batik itu memberikan berkah karena melibatkan banyak orang, dan menghidupi banyak orang,” tutur Umar.
Perkembangan batik makin pesat dalam delapan tahun terakhir. Jumlah tenaga kerja pembatik muda juga bertambah. Dulu, hampir semua pembatik pada usahanya merupakan pembatik tua. Namun, kini sekitar 140 tenaga kerja pada usahanya, atau sekitar 25 persen, adalah pembatik muda berusia di bawah 30 tahun.
”Baju bagian dari hidup. Batik ada di dalamnya. Inovasi selalu ada karena manusia berakal dan kreatif. Di sisi lain, kebanggaan atas keluhuran budaya lokal yang menjadi identitas diri terus ada di hati dan pikiran orang Indonesia,” kata Failasuf. (Siwi Nurbiajanti dan Neli Triana)
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar