Kisruh Mesir dalam Pandangan Syekh Al-Azhar dan Syekh Qaradhawi
Perdebatan muncul sejak militer Mesir memberhentikan Muhammad Mursi
dari jabatannya sebagai presiden dan mengangkat ketua Mahkamah
Konstitusi, Adli Mansur, sebagai presiden sementara. Para pendukung
Mursi-Ikhwanul Muslimin dan sayap politiknya, Partai Keadilan dan
Pembangunan, serta sejumlah partai dan ormas Islam-menyatakan,
pemberhentian Mursi sebagai kudeta militer. Sebab, Mursi merupakan
presiden pilihan rakyat Mesir secara demokratis setahun lalu. Selama
menjabat presiden, ia tak pernah melanggar konstitusi atau pelanggaran
berat lainnya yang bisa dijadikan alasan melengserkannya.
Sebaliknya, para penentang Mursi-kelompok liberal, sekuler, sosialis, dan militer-mengatakan, pencopotan Mursi sebagai pelurusan Revolusi 25 Januari 2011 yang menjatuhkan rezim presiden Husni Mubarak. Minimal ada dua tuduhan yang mereka kemukakan sebagai alasan penggulingan. Pertama, Mursi dituduh sedang menjadikan Mesir sebagai negara Ikhwanul Muslimin (Akhunatu Misro). Atau lebih tepatnya, ia sedang memperjuangkan nilai-nilai Islam pada pemerintahannya. Kedua, pemerintahan Mursi dianggap tidak becus mengurus negara, lantaran ekonomi Mesir terus memburuk selama setahun terakhir ini. Tuduhan-tuduhan yang tentu saja ditolak oleh Mursi dan para pendukungnya.
Yang patut disayangkan, ternyata kelompok-kelompok Islam di Mesir tidak cukup solid mendukung pemerintahan Mursi. Dalam setiap zaman selalu saja muncul kelompok petualang politik. Kelompok yang melihat “ke mana angin bertiup kencang ke sana mereka mengarah”. Kelompok Salafi di Mesir, misalnya, melalui sayap politiknya, Partai An Noor, tadinya mendukung Mursi. Namun, lantaran kue jabatan yang diberikan dianggap tidak sesuai, mereka pun membelot ke pihak militer dan oposisi. Setali tiga uang dengan kelompok Salafi adalah sikap Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Prof Dr Ahmad Tayyib.
Meskipun tidak terkait dengan jabatan secara langsung, namun Ahmad Tayyib-dilihat dari perjalanan hidupnya-tampaknya termasuk yang melihat ke mana angin bertiup. Pada masa rezim Mubarak, ia merupakan pendukung setianya. Bahkan, ketika muncul aksi-aksi demonstrasi melawan Mubarak, sikapnya tidak jelas. Baru setelah kelihatan Mubarak mau jatuh, ia pun berbelot ke revolusi rakyat yang akhirnya menjatuhkan Mubarak. Malah ia sempat mengeluarkan fatwa, meskipun terlambat, bahwa demonstrasi dan bahkan melawan penguasa tiran dibolehkan alias halal. Karena itu, ia pun mendukung oposisi Suriah menjatuhkan Presiden Bashar al-Assad.
Pada pemerintahan Mursi, Al-Azhar bahu membahu dengan kelompok Islam lainnya, terutama Al-Ikhwan (sebutan Ikhwanul Muslimin), untuk mengamendemen konstitusi negara. Kosntitusi baru-yang kemudian disetujui rakyat melalui referendum-ini meletakkan Al-Azhar pada posisi strategis. Yakni, segala undang-undang dan peraturan yang terkait dengan agama harus mendapat persetujuan dari Al-Azhar. Namun, ketika aksi-aksi demo menentang Mursi semakin membesar dan akhirnya didukung militer untuk menjatuhkan Mursi, Syekh Al-Azhar Ahmad Tayyib tiba-tiba ikut menentang kekuasaan Mursi yang Islami.
Bahkan, ia ikut mendampingi Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Fattah al-Sisi ketika membacakan pengumuman pemberhentian (baca: kedeta militer) Mursi dari jabatannya sebagai presiden. Ahmad Tayyib duduk berdampingan dengan Uskup Koptik Mesir, Uskup Tawadrus II, dan sejumlah tokoh sekuler-liberal yang menentang kekuasaan Mursi. Alasan yang dikemukakan, mengutip Aljazirah.net, untuk menghindarkan pertumpahan darah sesama rakyat Mesir. Bahkan, Syekh Al-Azhar menyebut demonstrasi yang mendukung dan menentang Presiden Mursi tidak ada kaitannya dengan agama, tapi demi kekuasaan. Menurutnya, alasan mendukung kudeta militer sebagai menghindarkan terjadinya perang saudara.
Sikap dan pertanyataan Syekh Al-Azhar itu segera direspons oleh Ketua Persatuan Ulama Dunia, Syekh Yusuf Qaradhawi. “Doktor Tayyib, ketua lembaga ulama-ulama besar Mesir (rois kibarul ulama) telah berbicara atas nama kami. Dia telah bersalah ketika mendukung kudeta militer untuk memberhentikan presiden yang sah dan yang terpilih secara demokratis. Dia telah berseberangan dengan kesepakatan ulama Islam dunia. Karena itu, pendapatnya adalah pribadi dan bukan atas nama para ulama. Pendapatnya yang mendukung kudeta militer untuk menjatuhkan presiden yang sah dan terpilih secara demokratis tidak bersandarkan pada Alquran maupun sunah sama sekali,” ujar Syekh Qaradhawi.
Mendapat serangan dari Syekh Qaradhawi, Syekh Al-Azhar tampaknya tidak mau berhadapan dengan koleganya itu. Ia hanya mengatakan akan terus beriktikaf (berdiam diri) di rumahnya sembari mendokan yang terbaik untuk bangsa Mesir. Namun, melalui keterangan pers, Al-Azhar membantah semua pernyataan Syekh Qaradhawi. Menurutnya, pendapat Qaradhawi merupakan fitnah dan ia (Qaradhawi) tidak melihat kenyataan besarnya demo oposisi. Bila hal itu dibiarkan justru akan menimbulkan pertumpahan darah yang tidak perlu,” bunyi keterangan pers Al-Azhar sebagaimana dikutip Al Ahram.
Qaradhawi dan Ahmad Tayyib sama-sama lulusan Al-Azhar. Qaradhawi sering disebut sebagai mewakili kelompok Islam politik. Sedangkan, Syekh Al-Azhar mewakili kelompok Islam kultural. Qaradhawi yang kini bermukim di Qatar selalu terlibat aktif-baik fisik maupun melalui fatwa-fatwanya-dalam gerakan dan revolusi rakyat melawan penguasa zalim seperti rezim Husni Mubarak dan kini rezim Bashar al-Assad. Qaradhawi juga merupakan anggota Lembaga Ulama Besar Mesir yang diketuai Syekh Tayyib.
Sebaliknya, Syekh Tayib merupakan anggota Persatuan Ulama Dunia yang dipimpin Syekh Qaradhawi. Baik Syekh Qaradhawi maupun Syekh Al-Azhar masing-masing mempunyai pengikut di berbagai belahan dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Karena itu, perkembangan di Mesir, termasuk silang pendapat dan perbedaan fatwa antara Syekh Qaradhawi dan Syekh Al-Azhar terhadap penggulingan pemerintahan Presiden Mursi yang Islami akan sangat menarik diikuti. Perbedaan pandangan Qaradhawi dengan Ahmad Tayyib sedikit banyak akan berpengaruh pada perkembangan fikih politik di dunia Islam.
Sebaliknya, para penentang Mursi-kelompok liberal, sekuler, sosialis, dan militer-mengatakan, pencopotan Mursi sebagai pelurusan Revolusi 25 Januari 2011 yang menjatuhkan rezim presiden Husni Mubarak. Minimal ada dua tuduhan yang mereka kemukakan sebagai alasan penggulingan. Pertama, Mursi dituduh sedang menjadikan Mesir sebagai negara Ikhwanul Muslimin (Akhunatu Misro). Atau lebih tepatnya, ia sedang memperjuangkan nilai-nilai Islam pada pemerintahannya. Kedua, pemerintahan Mursi dianggap tidak becus mengurus negara, lantaran ekonomi Mesir terus memburuk selama setahun terakhir ini. Tuduhan-tuduhan yang tentu saja ditolak oleh Mursi dan para pendukungnya.
Yang patut disayangkan, ternyata kelompok-kelompok Islam di Mesir tidak cukup solid mendukung pemerintahan Mursi. Dalam setiap zaman selalu saja muncul kelompok petualang politik. Kelompok yang melihat “ke mana angin bertiup kencang ke sana mereka mengarah”. Kelompok Salafi di Mesir, misalnya, melalui sayap politiknya, Partai An Noor, tadinya mendukung Mursi. Namun, lantaran kue jabatan yang diberikan dianggap tidak sesuai, mereka pun membelot ke pihak militer dan oposisi. Setali tiga uang dengan kelompok Salafi adalah sikap Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Prof Dr Ahmad Tayyib.
Meskipun tidak terkait dengan jabatan secara langsung, namun Ahmad Tayyib-dilihat dari perjalanan hidupnya-tampaknya termasuk yang melihat ke mana angin bertiup. Pada masa rezim Mubarak, ia merupakan pendukung setianya. Bahkan, ketika muncul aksi-aksi demonstrasi melawan Mubarak, sikapnya tidak jelas. Baru setelah kelihatan Mubarak mau jatuh, ia pun berbelot ke revolusi rakyat yang akhirnya menjatuhkan Mubarak. Malah ia sempat mengeluarkan fatwa, meskipun terlambat, bahwa demonstrasi dan bahkan melawan penguasa tiran dibolehkan alias halal. Karena itu, ia pun mendukung oposisi Suriah menjatuhkan Presiden Bashar al-Assad.
Pada pemerintahan Mursi, Al-Azhar bahu membahu dengan kelompok Islam lainnya, terutama Al-Ikhwan (sebutan Ikhwanul Muslimin), untuk mengamendemen konstitusi negara. Kosntitusi baru-yang kemudian disetujui rakyat melalui referendum-ini meletakkan Al-Azhar pada posisi strategis. Yakni, segala undang-undang dan peraturan yang terkait dengan agama harus mendapat persetujuan dari Al-Azhar. Namun, ketika aksi-aksi demo menentang Mursi semakin membesar dan akhirnya didukung militer untuk menjatuhkan Mursi, Syekh Al-Azhar Ahmad Tayyib tiba-tiba ikut menentang kekuasaan Mursi yang Islami.
Bahkan, ia ikut mendampingi Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Fattah al-Sisi ketika membacakan pengumuman pemberhentian (baca: kedeta militer) Mursi dari jabatannya sebagai presiden. Ahmad Tayyib duduk berdampingan dengan Uskup Koptik Mesir, Uskup Tawadrus II, dan sejumlah tokoh sekuler-liberal yang menentang kekuasaan Mursi. Alasan yang dikemukakan, mengutip Aljazirah.net, untuk menghindarkan pertumpahan darah sesama rakyat Mesir. Bahkan, Syekh Al-Azhar menyebut demonstrasi yang mendukung dan menentang Presiden Mursi tidak ada kaitannya dengan agama, tapi demi kekuasaan. Menurutnya, alasan mendukung kudeta militer sebagai menghindarkan terjadinya perang saudara.
Sikap dan pertanyataan Syekh Al-Azhar itu segera direspons oleh Ketua Persatuan Ulama Dunia, Syekh Yusuf Qaradhawi. “Doktor Tayyib, ketua lembaga ulama-ulama besar Mesir (rois kibarul ulama) telah berbicara atas nama kami. Dia telah bersalah ketika mendukung kudeta militer untuk memberhentikan presiden yang sah dan yang terpilih secara demokratis. Dia telah berseberangan dengan kesepakatan ulama Islam dunia. Karena itu, pendapatnya adalah pribadi dan bukan atas nama para ulama. Pendapatnya yang mendukung kudeta militer untuk menjatuhkan presiden yang sah dan terpilih secara demokratis tidak bersandarkan pada Alquran maupun sunah sama sekali,” ujar Syekh Qaradhawi.
Mendapat serangan dari Syekh Qaradhawi, Syekh Al-Azhar tampaknya tidak mau berhadapan dengan koleganya itu. Ia hanya mengatakan akan terus beriktikaf (berdiam diri) di rumahnya sembari mendokan yang terbaik untuk bangsa Mesir. Namun, melalui keterangan pers, Al-Azhar membantah semua pernyataan Syekh Qaradhawi. Menurutnya, pendapat Qaradhawi merupakan fitnah dan ia (Qaradhawi) tidak melihat kenyataan besarnya demo oposisi. Bila hal itu dibiarkan justru akan menimbulkan pertumpahan darah yang tidak perlu,” bunyi keterangan pers Al-Azhar sebagaimana dikutip Al Ahram.
Qaradhawi dan Ahmad Tayyib sama-sama lulusan Al-Azhar. Qaradhawi sering disebut sebagai mewakili kelompok Islam politik. Sedangkan, Syekh Al-Azhar mewakili kelompok Islam kultural. Qaradhawi yang kini bermukim di Qatar selalu terlibat aktif-baik fisik maupun melalui fatwa-fatwanya-dalam gerakan dan revolusi rakyat melawan penguasa zalim seperti rezim Husni Mubarak dan kini rezim Bashar al-Assad. Qaradhawi juga merupakan anggota Lembaga Ulama Besar Mesir yang diketuai Syekh Tayyib.
Sebaliknya, Syekh Tayib merupakan anggota Persatuan Ulama Dunia yang dipimpin Syekh Qaradhawi. Baik Syekh Qaradhawi maupun Syekh Al-Azhar masing-masing mempunyai pengikut di berbagai belahan dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Karena itu, perkembangan di Mesir, termasuk silang pendapat dan perbedaan fatwa antara Syekh Qaradhawi dan Syekh Al-Azhar terhadap penggulingan pemerintahan Presiden Mursi yang Islami akan sangat menarik diikuti. Perbedaan pandangan Qaradhawi dengan Ahmad Tayyib sedikit banyak akan berpengaruh pada perkembangan fikih politik di dunia Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar