Akhir bulan Mei ini, Presiden SBY direncanakan
menerima penghargaan World Statesman Award dari Appeal for Conscience
Foundation (ACF), suatu yayasan antar-agama bergengsi di Amerika
Serikat. Ini merupakan kesekian kalinya Presiden SBY menerima
penghargaan internasional (penghargaan sebelumnya dari UNEP, ILO, World
Movement for Democracy, US-ASEAN Business Council, WWF/WRI/TNC, dan
lain-lain).
Walaupun suatu kehormatan, saya tidak melihat penghargaan
ACF ini sebagai suatu yang terlalu luar biasa atau mengagetkan. Saya
juga sependapat dengan Pak Yusuf Kalla yang dengan bijak menyatakan
bahwa penghargaan ACF untuk Presiden SBY ini sebenarnya adalah kredit
untuk bangsa Indonesia.
Mengapa? Karena dalam
1 dekade terakhir, profil Indonesia di dunia internasional sudah jauh
berubah. Reputasi Indonesia dulu sebagai negara terpuruk - kata Tom
Friedman, "messy state" - telah berubah menjadi negara yang disegani : sebagai anggota G-20; "major democracy", "emerging economy", "pivotal state", "next Asian giant", "environmental power";
dan lain sebagainya. Ini adalah fakta dan realita - bukan opini.
Jangan sampai kita seperti bangsa yang bingung : terpuruk marah; sukses
kesal.
Ada
beberapa faktor yang membuat Indonesia semakin dilirik bangsa-bangsa
lain, termasuk oleh Amerika Serikat. Pertama, Indonesia kini mempunyai
status yang langka sebagai negara demokrasi yang mapan dan stabil.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, setelah 3 kali pemilu,
demokrasi Indonesia dianggap kisah sukses. Di AS, Indonesia banyak
dirujuk oleh pengamat internasional sebagai tauladan bagi negara-negara
Arab Spring yang kini mengalami transisi.
Saya sendiri selalu menyerukan harapan agar "Arab Spring"
dapat menjadi "Indonesian summer". Sementara itu, upaya Presiden SBY
memprakarsai acara tahunan Bali Democracy Forum telah tumbuh pesat dari
32 negara peserta menjadi 80 negara. Sebagai perbandingan, forum Asia
Pacific Partnership for Democracy yang dirintis AS pada tahun yang sama
ternyata kurang berkembang. Bukankah itu menunjukkan kredibilitas
Indonesia yang tinggi dan kepercayaan dunia yang tinggi terhadap kita ?
Kedua,
Indonesia kini mempunyai rekor hak asasi manusia yang jauh berbeda dari
era sebelumnya. Hal ini tidak mengherankan karena kontrol media dan
publik yang sangat intens dalam era kebebasan pers. Dalam era
demokrasi kita, tidak ada lagi pelanggaran HAM berat seperti penembakan
masal Santa Cruz tahun 1991 atau di Tanjung Periuk tahun 1984.
Kasus
orang hilang diculik aparat juga hampir tidak terdengar lagi.
Pendeknya, pelanggaran HAM yang dulu sistematis oleh negara kini telah
diganti oleh pelanggaran HAM oleh individu yang sifatnya insidentil,
dan pola ini nampaknya akan terus menghantui kita ke depan. Dan jangan
lupa, di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara yang paling aktif
mendorong ASEAN untuk menghormati prinsip demokrasi dan hak asasi
manusia.
Ketiga,
Indonesia kini dipandang sebagai pelopor perdamaian. Di dalam negeri,
prestasi sejarah kita yang terbesar adalah tercapainya perdamaian
permanen yang mengakhiri separatisme di Aceh. Konflik berdarah di Poso
dan Maluku juga selesai. Konflik di Papua masih ada namun terkendali.
Sekali lagi, disini saya melihat paradoks : sewaktu dirundung konflik,
kita berteriak meratapi nasib; namun begitu konflik diselesaikan, kita
menganggap sepi.
Untungnya, di dunia internasional prestasi ini
dicatat dan dihargai. Tahun 2006, misalnya, Presiden SBY sempat masuk
daftar kandidat hadiah Nobel Perdamaian. Walaupun hadiah Nobel tahun
itu dimenangkan Muhammad Yunus dari Bangladesh, diplomasi perdamaian
Indonesia terus melaju. Di Laut Cina Selatan, Myanmar, Lebanon,
konflik Thailand-Kamboja, hubungan dengan Timor Leste, Indonesia
kemudian mengambil peran signifikan yang dapat mengubah dinamika
konflik.
Keempat,
Indonesia kini telah menjadi pemain global. Ini tidak hanya terbatas
pada forum G-20 Li; namun juga untuk sejumlah isyu internasional :
lingkungan hidup dan konservasi laut; perubahan iklim; inter-faith;
Islamophobia; pembangunan. Dalam semua isu ini, tindakan Indonesia
dihitung, dan suara Indonesia didengar.
Bukti paling jelas adalah
terpilihnya Presiden SBY sebagai Ketua Bersama High Level Panel yang
ditunjuk Sekjen PBB untuk merumuskan arah pembangunan dunia pasca-MDG.
Apapun kapasitasnya, Indonesia kini dipandang sebagai pelopor dan
jembatan - antara dunia barat dan Islam; antara negara berkembang dan
negara maju; antara Asia Tenggara dan dunia internasional; antara
kawasan Samudera India dan Samudera Pasifik.
Semua
hal ini sama sekali tidak berarti kita sempurna. Justru sebaliknya,
sebagai bangsa, Indonesia masih banyak kekurangan dan cacatnya.
Korupsi masih marak. Kesenjangan dan kemiskinan masih banyak. Friksi
antar-umat juga tetap ada, bahkan cenderung meningkat dewasa ini.
Masih ada kelompok masyarakat yang memaksakan kehendak terhadap
golongan lain (yang biasanya lebih lemah).
Semua ini mengingatkan kita
bahwa Indonesia adalah bangsa yang penuh prestasi namun juga sarat
masalah. Disini, saya setuju bahwa Pemerintah harus semakin telaten
merespon aspirasi rakyat yang menuntut perlindungan fisik dan hukum
bagi kelompok minoritas - sesulit apapun masalahnya - karena ini
merupakan esensi terpenting dalam kehidupan berdemokrasi.
Namun
semua kekurangan ini tidak menihilkan kenyataan bahwa dunia kini banyak
menaruh harapan pada Indonesia. Kalau kita melihat gejolak dan perang
di Timur Tengah, ketegangan di Asia Timur, kelesuan di Eropa, konflik
di Afrika, maka tidak heran kalau dunia melihat Indonesia sebagai sinar
harapan. Kita jangan menyepelekan harapan dunia tersebut.
Indonesia
tidak boleh lengah oleh pujian, namun sebagai orang timur, tidak baik
juga kalau kita menolak apresiasi orang lain. Kita jangan takabur,
tapi juga jangan sinis. Karena itu, kalau nanti Presiden SBY menerima
penghargaan World Statesman Award di New York, saya yakin pesan beliau
cukup sederhana: "Terima kasih Indonesia dihargai, jalan kami masih
panjang, kekurangan kami masih banyak, do'akan kami terus maju".
Selamat untuk bangsa Indonesia.
Maju terus.
*)Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar