KBRN, Jakarta : Program e-Voting dimaksudkan
untuk mencari solusi permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan
Pemilihan Umum (Pemilu). Permasalahan pemilu sangat kompleks, seperti
identitas data pemilih.
“Kita sudah menjalankan lebih dari 5, 6 dan mungkin 7 kali Pemilu, bahkan sudah 10 kali Pemilu, tapi kita masih punya permasalahan di situ, permasalahan utama misalnya validitas data pemilih,” kata Chief Engineer e-Pemilu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Faisol Ba’Abdullah, pada acara Bincang Iptek BPPT di Jakarta, Rabu (21/8/2013).
Di samping itu, lanjutnya, permasalahan lainnya seperti banyak kertas suara dinyatakan tidak sah dalam pemilu. Dua pemilu terakhir 2004 dan 2009, ada sekitar 8,8 persen yang dinyatakan tidak sah pada Pemilu 2004, kemudian di 2009 ada sekitar 16,6 persen.
Kemudian, hasil Pemilu secara manual membutuhkan waktu yang lama secara nasional, bahkan sampai level nasional butuh waktu sampai 3-4 minggu dan relatif biaya juga mahal.
“TIK sebenarnya bisa mengurangi atau memberikan solusi terhadap permsalahan-permasalahan tersebut dengan program e-voting bisa mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan tersebut,” papar Faisol.
E-Voting adalah sebuah sistem yang memanfaatkan perangkat elektronik dalam mengolah pembuatan surat suara, memberikan suara, menghitung perolehan suara, menayangkan perolehan suara, dan dia juga bisa menghasilkan jejak audit.
Di Indonesia, ada beberapa yang bisa dijadikan dasar hukum untuk melakukan e-voting diantaranya adalah Amar Putusan MK Tahun 2010, bahwa e-voting ini dapat diartikan mencoblos,mencentang dengan syarat komulatif, tidak melanggar asas luber, jurdil , kemudian ada kesiapan daerah, baik dari segi pembiayaan maupun teknologi, SDM dan lain-lain.
“Jadi, kalau kita menggunakan e-voting sebetulnya Amar Kepusan MK tersebut sudah bisa dijadikan alat atau bukti hukum yang syah. Namun, karena sampai saat ini belum ada peraturan KPU yang mengatur tentang e-voting. Walaupun daerah-daerah sudah siap e-voting pilkada, maka mereka belum berani melakukan e-voting,” ungkap Faisol.
Namun, yang memungkinkan adalah pemilihan kelapa desa, karena pemilihan kepala desa ini tidak diatur melalui UU Pemilu, melainkan diatur di level daerah yakni Peraturan Daerah (Perda), maka bisa ditangani langsung oleh daerah, seperti pemilihan kepala desa yang dilakukan di sebuah desa di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, yang dinilai cukup berhasil. (Heri.F/HF)
sumber
“Kita sudah menjalankan lebih dari 5, 6 dan mungkin 7 kali Pemilu, bahkan sudah 10 kali Pemilu, tapi kita masih punya permasalahan di situ, permasalahan utama misalnya validitas data pemilih,” kata Chief Engineer e-Pemilu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Faisol Ba’Abdullah, pada acara Bincang Iptek BPPT di Jakarta, Rabu (21/8/2013).
Di samping itu, lanjutnya, permasalahan lainnya seperti banyak kertas suara dinyatakan tidak sah dalam pemilu. Dua pemilu terakhir 2004 dan 2009, ada sekitar 8,8 persen yang dinyatakan tidak sah pada Pemilu 2004, kemudian di 2009 ada sekitar 16,6 persen.
Kemudian, hasil Pemilu secara manual membutuhkan waktu yang lama secara nasional, bahkan sampai level nasional butuh waktu sampai 3-4 minggu dan relatif biaya juga mahal.
“TIK sebenarnya bisa mengurangi atau memberikan solusi terhadap permsalahan-permasalahan tersebut dengan program e-voting bisa mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan tersebut,” papar Faisol.
E-Voting adalah sebuah sistem yang memanfaatkan perangkat elektronik dalam mengolah pembuatan surat suara, memberikan suara, menghitung perolehan suara, menayangkan perolehan suara, dan dia juga bisa menghasilkan jejak audit.
Di Indonesia, ada beberapa yang bisa dijadikan dasar hukum untuk melakukan e-voting diantaranya adalah Amar Putusan MK Tahun 2010, bahwa e-voting ini dapat diartikan mencoblos,mencentang dengan syarat komulatif, tidak melanggar asas luber, jurdil , kemudian ada kesiapan daerah, baik dari segi pembiayaan maupun teknologi, SDM dan lain-lain.
“Jadi, kalau kita menggunakan e-voting sebetulnya Amar Kepusan MK tersebut sudah bisa dijadikan alat atau bukti hukum yang syah. Namun, karena sampai saat ini belum ada peraturan KPU yang mengatur tentang e-voting. Walaupun daerah-daerah sudah siap e-voting pilkada, maka mereka belum berani melakukan e-voting,” ungkap Faisol.
Namun, yang memungkinkan adalah pemilihan kelapa desa, karena pemilihan kepala desa ini tidak diatur melalui UU Pemilu, melainkan diatur di level daerah yakni Peraturan Daerah (Perda), maka bisa ditangani langsung oleh daerah, seperti pemilihan kepala desa yang dilakukan di sebuah desa di Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, yang dinilai cukup berhasil. (Heri.F/HF)
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar