KBRN,
Jakarta: Sejumlah Pengamat ekonomi memprediksi nilai tukar rupiah akan
terus melemah dan berpotensi menyentuh level Rp12.000 per dolar Amerika
Setikat jika kita tidak berhati-hati dalam menanganinya. Bahkan ada
analisis menilai gejolak akan reda sampai akhir tahun ini.
Masyarakat janganlah panik dari gejolak ini, karena krisis ekonomi sekarang ini sangat jauh berbeda dengan kejadian tahun 1997.
Walaupun
saat ini dirasakan berdampak pada sejumlah harga komoditi meningkat,
seperti harga kedele yang melambung, diikuti meningkatnya harga tepung
terigu, selain bertambahnya harga barang-barang impor dan bahkan
berdampak pada meningkatnya harga properti.
Jatuhnya
nilai tukar rupiah dan runtuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
dalam beberapa hari terakhir telah menjadi spekulasi yang menarik
untuk jual beli dolar maupun saham, walaupun nampaknya dalam tempo yang
temporer. Selain tentunya pemerintah dan otoritas ekonomi di Indonesia
memberikan perhatian yang sangat serius pada kondisi ekonomi makro
kita.
Presiden
dan jajaran tim ekonominya termasuk Bank Indonesia serta Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) sedang bekerja keras dengan berbagai paket kebijakan
untuk meredam dampak situasi tersebut melalui forum ekonomi yang sudah
ada.
Namun,
dampak dari kebijakan fiskal misalnya tidak akan bisa langsung terasa,
karena memerlukan waktu. Kecuali kebijakan moneter dari Bank Indonesia
yang akan dapat dilihat hasilnya bulan depan.
Sementara
itu, Ada penilaian bahwa pondasi ekonomi Indonesia tergolong rapuh
karena cadangan devisa lebih banyak dikontribusi oleh dana-dana jangka
pendek.
Selain
itu, kondisi perekonomian global juga semakin tidak mendukung termasuk
utamanya disebabkan dolar Amerika Serikat yang menguat dan menunjukkan
sikap dari Bank Sentral Amerika The Fed terkait dengan kebijakan
stimulus moneter untuk mengurangi atau menghentikan stimulus Quantitive
easing (QE).
Ekonomi
Indonesia yang mengalami tekanan saat ini, sama dengan yang dialami
beberapa negara lainnya seperti China, Brasil, Rusia, India dan Afrika
Selatan, akibat isu kebijakan stimulus moneter Amerika tersebut.
Bank
Indonesia (BI) memang mencatat sejak akhir Desember 2012 hingga 23
Agustus 2013 nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 10,9
persen (year to date) yang disebabkan penguatan nilai tukar dolar
Amerika Serikat.
BI juga
mencatat defisit transaksi berjalan meningkat dari 5,8 miliar dolar AS
(2,6 persen dari PDB) pada triwulan sebelumnya menjadi 9,8 miliar dolar
AS (4,4 persen dari PDB) pada triwulan II-2013 akibat menyusutnya
surplus neraca perdagangan nonmigas serta melebarnya defisit neraca
jasa dan pendapatan.
Namun
demikian, menjelang akhir tahun kegiatan ekspor Indonesia akan semakin
tumbuh dan impor akan semakin berkurang. Momentum ini biasanya akan
memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika.
Semoga
gejolak tekanan rupiah akan dapat dikurangi, termasuk harapannya
bagaimana pemerintah berhasil mengurangi tekanan inflasi.
Kita
bersama harus bekerja lebih ekstra keras dan hati-hati, Terlebih lagi
saat kita akan memasuki tahun politik Pemilu 2014 yang diperkirakan
akan memberi pengaruh pada kondisi makro ekonomi Indonesia. (Ida
Bagus Alit Wiratmaja SH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar