Pemerintah Diminta Tidak Keluarkan Izin Miss World
JAKARTA - Ketua Komisi
Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI), Saleh Partaonan Daulay,
meminta pemerintah tidak memberikan izin penyelenggaraan kompetisi Miss
World yang akan digelar Oktober mendatang.
Alasannya, kontes kecantikan tersebut sangat jauh dari semangat Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.
"Bahkan kontes yang memertontonkan
aurat perempuan ini bisa jadi melanggar UU tersebut. Jadi dikhawatirkan
pascapenyelenggaraan akan ada beberapa elemen masyarakat yang akan
melaporkan pelanggaran itu ke pihak berwajib," ujar Saleh di Jakarta,
Minggu (25/8).
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda
Muhammadiyah ini melihat, sampai sejauh ini sudah banyak elemen
masyarakat yang mengajukan keberatan dan penolakan atas penyelenggaraan
kontes tersebut. Menurutnya ini menunjukkan bahwa masyarakat merasa
terganggu dengan kegiatan tersebut.
"Jangan sampai bernasib sama dengan
konser Lady Gaga tempo hari. Walau tiket sudah terjual habis,
belakangan ternyata konser dibatalkan. Menurut saya resistensi terhadap
kontes kecantikan ini malah lebih tinggi," ujarnya.
Selain manfaatnya yang tidak jelas,
Daulay juga melihat kontes miss world juga sangat jauh dari nilai-nilai
budaya, tradisi, dan kearifan bangsa Indonesia. Apalagi untuk menjadi
perempuan pintar, anggun, dan berkepribadian, tidak mesti harus menang
kontes kecantikan.
Hal tersebut telah ditunjukkan para
srikandi Indonesia. Misalnya RA Kartini, Cut Nyak Dien, Martha
Christina Tiahahu dan lain-lain yang sampai saat ini tetap dikenang
karena pengabdian, bukan hanya karena kecantikannya.
"Walaupun menang di ajang kontes
kecantikan, namun kalau tidak berkontribusi bagi kehidupan sosial
kemasyarakatan akan cepat dilupakan orang. Buktinya, kontes seperti ini
diadakan setiap tahun. Berarti ada puluhan miss world yang sudah
dihasilkan. Coba ditanyakan, berapa di antaranya yang betul-betul tetap
diingat orang?" ujarnya.
Wakil sekretaris Dewan Pakar Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini menilai, para peserta kontes
tidak bisa diharapkan membawa perubahan sosial. Malah katanya, mereka
terkesan dimanfaatkan perusahaan-perusahaan besar hanya untuk menjadi
model iklan sesaat yang kadangkala memang berselipkan sedikit misi
kemanusiaan. Namun tujuan utamanya tetap untuk bisnis dan komersial.
Menurutnya, wujud komersialisasi sangat
jelas terlihat dari berbagai kegiatan menjelang pelaksanaan. Bahkan
pada titik tertentu, jenis komersialisasi yang dilakukan sangat
merendahkan martabat perempuan.
"Karena itu tidak semestinya Indonesia
ikut-ikutan memfasilitasi kegiatan seperti itu. Ikut atau tidak ikut,
tidak akan berpengaruh bagi posisi Indonesia di pentas global. Masih
banyak kompetisi lain yang bisa mengharumkan nama bangsa Indonesia
dengan cara-cara yang lebih bermartabat," ujarnya.(gir/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar