Kamis, 29 Agustus 2013

Masyarakat Panik,Pondasi Ekonomi Indonesia Masih Rapuh

Pondasi Ekonomi Indonesia Masih Rapuh 

KBRN, Jakarta: Sejumlah Pengamat ekonomi memprediksi nilai tukar rupiah akan terus melemah dan berpotensi menyentuh level Rp12.000 per dolar Amerika Setikat  jika kita tidak berhati-hati dalam menanganinya. Bahkan ada analisis menilai gejolak akan reda sampai akhir tahun ini.

Masyarakat janganlah panik dari gejolak ini, karena krisis ekonomi sekarang ini sangat jauh berbeda dengan kejadian tahun 1997.

Walaupun saat ini dirasakan berdampak pada sejumlah harga komoditi meningkat, seperti harga kedele yang melambung, diikuti meningkatnya harga tepung terigu, selain bertambahnya harga barang-barang impor dan bahkan berdampak pada meningkatnya harga properti.

Jatuhnya nilai tukar rupiah dan runtuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa hari terakhir telah menjadi  spekulasi yang menarik untuk jual beli dolar maupun saham, walaupun nampaknya dalam tempo yang temporer. Selain tentunya pemerintah dan otoritas ekonomi di Indonesia memberikan  perhatian yang sangat serius pada kondisi ekonomi makro kita.

Presiden dan jajaran tim ekonominya termasuk Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang bekerja keras dengan  berbagai paket kebijakan untuk meredam dampak situasi tersebut melalui forum ekonomi yang sudah ada.

Namun, dampak dari kebijakan fiskal misalnya tidak akan bisa langsung terasa, karena memerlukan waktu. Kecuali kebijakan moneter dari Bank Indonesia yang akan dapat dilihat hasilnya bulan depan.

Sementara itu, Ada penilaian bahwa pondasi ekonomi Indonesia tergolong rapuh karena cadangan devisa lebih banyak dikontribusi oleh dana-dana jangka pendek.

Selain itu, kondisi perekonomian global juga semakin tidak mendukung termasuk utamanya disebabkan dolar Amerika Serikat yang menguat dan menunjukkan sikap dari Bank Sentral Amerika The Fed terkait dengan kebijakan stimulus moneter untuk mengurangi atau menghentikan stimulus Quantitive easing (QE).

Ekonomi Indonesia yang mengalami tekanan saat ini, sama dengan yang dialami beberapa negara lainnya seperti China, Brasil, Rusia, India dan Afrika Selatan, akibat isu kebijakan stimulus moneter Amerika tersebut.

Bank Indonesia (BI) memang mencatat sejak akhir Desember 2012 hingga 23 Agustus 2013 nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 10,9 persen (year to date) yang disebabkan penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat.

BI juga  mencatat defisit transaksi berjalan meningkat dari 5,8 miliar dolar AS (2,6 persen dari PDB) pada triwulan sebelumnya menjadi 9,8 miliar dolar AS (4,4 persen dari PDB) pada triwulan II-2013 akibat menyusutnya surplus neraca perdagangan nonmigas serta melebarnya defisit neraca jasa dan pendapatan.

Namun demikian, menjelang akhir tahun kegiatan ekspor Indonesia akan semakin tumbuh dan impor akan semakin berkurang. Momentum ini biasanya akan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika.
Semoga gejolak tekanan rupiah akan dapat dikurangi, termasuk harapannya bagaimana pemerintah berhasil mengurangi tekanan inflasi.

Kita bersama harus bekerja lebih ekstra keras dan hati-hati, Terlebih lagi saat  kita  akan memasuki tahun politik Pemilu 2014 yang diperkirakan akan  memberi pengaruh  pada kondisi makro ekonomi Indonesia. (Ida Bagus Alit Wiratmaja SH)

Tidak ada komentar: