Berburu tenun eceng gondok di Pekalongan (1)
Jika Anda sedang berkunjung ke Pekalongan, tak ada salahnya berburu
karya kerajinan tenun dari bahan alami, seperti eceng gondok, akar
wangi, dan mendong. Tepatnya, di Desa Pakumbulan, Kecamatan Buaran, ada
sekitar 100 perajin yang memproduksi kerajinan tenun.
Dari pusat Kota Pekalongan, hanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk mencapai lokasi sentra kerajinan tersebut. Dari Jalan Urip Sumoharjo, arahkan kendaraan Anda menuju arah Selatan kota Pekalongan. Patokannya, ialah hamparan sawah yang mengelilingi Desa Pakumbulan.
Hampir setiap warga di Desa Pakumbulan bermata pencaharian sebagai perajin tenun eceng gondok. Tak heran, di halaman-halaman rumah warga sangat mudah dijumpai hamparan eceng gondok atau akar wangi yang sedang dijemur.
Ketika KONTAN menyambangi lokasi tersebut pada awal Maret lalu, nampak panggrok alias ruang kerja yang diisi dengan berbagai alat tenun bukan mesin (ATBM). Bahan eceng gondok, akar wangi atau mendong diolah dengan cara ditenun. Hasil tenunan yang berupa lembaran itu bisa dibentuk dan digunakan menjadi taplak meja atau lajuran (hiasan dinding).
Salah seorang perajin, Amin Maisun bercerita, sentra ini sudah ada sejak 1980-an. Namun, awalnya para perajin di Desa Pakumbulan, termasuk orang tua Amin, bukan menenun eceng gondok atau akar wangi. Mereka menenun sarung palekat dari bahan benang.
Baru pada 1995, ketika Amin mengambil alih usaha orang tuanya, ia mulai memproduksi kerajinan dari bahan baku alam tersebut. “Mulai 1990-an, banyak orang memproduksi sarung palekat menggunakan mesin, jadi usaha kami kalah saing,” kisahnya.
Lantaran, enggan menutup usahanya, Amin pun mulai mencari bahan alam yang bisa diolah menjadi kerajinan. Sekarang, ia fokus membuat kerajinan tenun dari tiga bahan alami, yakni eceng gondok, mendong, dan akar wangi.
Dengan mengoperasikan 50 unit ATBM, ia bisa menghasilkan hingga 10.000 meter kerajinan tenun per bulan. Banyak yang membeli hasil tenunan itu untuk dibentuk menjadi produk kerajinan.
Amin membanderol hasil tenun eceng gondok dan mendong sekitar Rp 10.000 per meter. Sedangkan, tenun akar wangi lebih mahal, yaitu Rp 15.000 per meter. “Omzet saya rata-rata bisa sampai Rp 100 juta tiap bulan,” ujarnya.
Perajin lain, Sumiyati juga memproduksi kerajinan serupa, yaitu berbentuk taplak meja dan lajuran. Namun, harga jualnya lebih murah. Sumiyati melego satu meter tenun eceng gondok dan mendong seharga Rp 7.500. Sedangkan, tenunan dari bahan akar wangi dihargai Rp 9.500 per meter.
Tiap minggu, Sumiyati bisa memproduksi sekitar 500 meter kerajinan tenun bahan alami. Ia menggunakan enam ATBM, dan dibantu tiga anaknya. Perempuan berusia 33 tahun ini mampu meraup omzet Rp 20 juta sebulan.
Dari pusat Kota Pekalongan, hanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk mencapai lokasi sentra kerajinan tersebut. Dari Jalan Urip Sumoharjo, arahkan kendaraan Anda menuju arah Selatan kota Pekalongan. Patokannya, ialah hamparan sawah yang mengelilingi Desa Pakumbulan.
Hampir setiap warga di Desa Pakumbulan bermata pencaharian sebagai perajin tenun eceng gondok. Tak heran, di halaman-halaman rumah warga sangat mudah dijumpai hamparan eceng gondok atau akar wangi yang sedang dijemur.
Ketika KONTAN menyambangi lokasi tersebut pada awal Maret lalu, nampak panggrok alias ruang kerja yang diisi dengan berbagai alat tenun bukan mesin (ATBM). Bahan eceng gondok, akar wangi atau mendong diolah dengan cara ditenun. Hasil tenunan yang berupa lembaran itu bisa dibentuk dan digunakan menjadi taplak meja atau lajuran (hiasan dinding).
Salah seorang perajin, Amin Maisun bercerita, sentra ini sudah ada sejak 1980-an. Namun, awalnya para perajin di Desa Pakumbulan, termasuk orang tua Amin, bukan menenun eceng gondok atau akar wangi. Mereka menenun sarung palekat dari bahan benang.
Baru pada 1995, ketika Amin mengambil alih usaha orang tuanya, ia mulai memproduksi kerajinan dari bahan baku alam tersebut. “Mulai 1990-an, banyak orang memproduksi sarung palekat menggunakan mesin, jadi usaha kami kalah saing,” kisahnya.
Lantaran, enggan menutup usahanya, Amin pun mulai mencari bahan alam yang bisa diolah menjadi kerajinan. Sekarang, ia fokus membuat kerajinan tenun dari tiga bahan alami, yakni eceng gondok, mendong, dan akar wangi.
Dengan mengoperasikan 50 unit ATBM, ia bisa menghasilkan hingga 10.000 meter kerajinan tenun per bulan. Banyak yang membeli hasil tenunan itu untuk dibentuk menjadi produk kerajinan.
Amin membanderol hasil tenun eceng gondok dan mendong sekitar Rp 10.000 per meter. Sedangkan, tenun akar wangi lebih mahal, yaitu Rp 15.000 per meter. “Omzet saya rata-rata bisa sampai Rp 100 juta tiap bulan,” ujarnya.
Perajin lain, Sumiyati juga memproduksi kerajinan serupa, yaitu berbentuk taplak meja dan lajuran. Namun, harga jualnya lebih murah. Sumiyati melego satu meter tenun eceng gondok dan mendong seharga Rp 7.500. Sedangkan, tenunan dari bahan akar wangi dihargai Rp 9.500 per meter.
Tiap minggu, Sumiyati bisa memproduksi sekitar 500 meter kerajinan tenun bahan alami. Ia menggunakan enam ATBM, dan dibantu tiga anaknya. Perempuan berusia 33 tahun ini mampu meraup omzet Rp 20 juta sebulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar