TRIBUNNEWS.COM, PEKALONGAN -- Badan Kordinasi
Keamanan Laut (Bakorkamla) membagikan seratus lima puluh pelampung
hasil design Bakorkamla kepada nelayan di wilayah Pekalongan, Jawa
Tengah, Sabtu, (16/02/2013).
Staf Ahli Bidang SAR Bakorkamla, Nus
Sunadi, dalam pembekalannya kepada nelayan Pekalongan di aula Pelabuhan
Perikanan Nusantara Pekalongan, mengatakan bahwa kesadaran nelayan
mengenai keselamatan saat berlayar masih rendah.
"Oleh karena itu
kita berikan secara cuma-cuma, biar nelayannya merasa aman, dan bisa
terus menjadi tulang punggung keluarga, biar tumbuh kesadaran untuk
keselamatan," katanya.
Pelampung tersebut terbuat dari sejenis
foam yang dibalut dengan satin Jepang, oleh karena itu daya apungnya
jauh labih baik dari pada pelampung pada umumnya.
Menurut standar
Safety Of Life at Sea (SOLAS) sebuah pelampung harus bisa mengapung
dengan beban selama sekitar 72 jam. Nus mengatakan pelampung tersebut
sudah diuji daya apungnya dengan beban 15 kilogram selama 82 jam.
"Jika
seseoran bertahan di laut diatas 82 jam, umumnya seseorang itu sudah
meninggal, karena kehilangan panas tubuh maupun kekurangan cairan,"
ujarnya.
Pelampung yang dilengkapi dengan pluit itu berwarna
oranye. Nus dalam pembekalannya menuturkan bahwa warna tersebut akan
sangat mudah dikenali dari kejauhan, sehingga proses pencarian korban
yang mengenakan pelampung itu jadi lebih mudah.
Ia mengatakan,
pelampung Bakorkamla itu sudah disebarkan di berbagai tempat, mulai
dari pesisir Maluku, Bali, hingga ke pantai Selatan dan pantai Utara.
Kepala
Seksi Tata Operasional, Pelabuhan Perikanan Nusantara, Pekalongan,
Turhadi, menambahkan bahwa di lingkungan Pekalongan kesadaran pemilik
perahu untuk melengkapi alat-alat keselamatan memang bisa dikatakan
rendah.
Ia mencontohkan, sebuah kapal berkapasitas sekitar 40
orang, umumnya hanya dilengkapi dengan pelampung sekitar 10-20 buah.
Padahal kapal tersebut bisa berlayar hingga berbulan-bulan, mulai dari
wilayah Natuna hingga selat Makasar.
Sahuri (52), Anak Buah Kapal
(ABK), Kapal 30 Gross Stone bernama Jaya Samudra, membenarkan
pernyataan Turhadi. Kata Sahuri, para nelayan di Pekalongan sudah
terbiasa melaut dengan peralatan seadanya.
"Tapi ya kalo dipikir-pikir kita melaut berbulan-bulan tanpa alat keselamatan, ya saya takut juga," jelasnya.
Sahuri
yang telah menjadi nelayan sejak umur 9 tahun itu menceritakan bahwa
pada tahun 1983 kapalnya sempat terbalik dihantam ombak. Ia dan
sejumlah rekan-rekannya terpaksa berenang ratusan meter tanpa pelampung
ke darat.
Selama menjadi nelayan, ia pun sadar bahwa banyak
rekan-rekannya yang meninggal hanyut dilaut, salah satunya karena
kurangnya alat keselamatan.
"Kalau kita pikir-pikir pelampung dan
alat keselamatan itu penting, tapi kita kan terserah pemilik kapal,
kalau pemiliknya tidak mau ya kita tidak bisa apa-apa," ucapnya.
(NURMULIA REKSO PURNOMO).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar