Menengok Kondisi Terkini di Instalasi Pengolahan Air Limbah di Jenggot
DARI
luar pagar Unit Pengolahan Limbah (UPL) Jenggot ditulisi beraneka rupa
tulisan cat semprot berwarna-warni. Papan Identitas UPL pun tak luput
dari coretan bertuliskan “ANMOR” berwarna hitam. Undakan semen di
gerbang juga sedikit terkikis. Begitu memasuki UPL, tampak hamparan
pohon pisang hias, dan sri rejeki di tengah-tengahnya.
Ditempat paling
pojok depan, terdapat ruang mesin berukuran kurang lebih 4X4 meter.
Beberapa kaca jendelanya tidak ada, digantikan dengan potongan-potongan
seng dan kertas karton bekas. Kanopi plastik putih di terasnya pun
tinggal separo, dengan rangka besi yang berkarat, dirambati pohon
anggur yang belum berbuah. Samar-samar terdengar suara musik dari ruang
mesin.
Di
ruang tersebut ada Tuhaji, salah satu penjaga ULP. Dia bertugas dari
pukul 10.00 hingga 14.00. Kepada Radar, dia bercerita apa yang dia
ketahui tentang pengolahan limbah di daerah Jenggot. “Air limbah batik
dan rumah tangga mengalir sari sini,” ujarnya seraya menunjuk selokan
sedalam lima meter yang dialiri air berwarna keunguan.
Ada pula saluran
dari pabrik yang lebih besar, berupa pipa. Akan tetapi ketika itu tidak
ada air limbah batik mengalir dari sana. Air itu kemudian ditampung
melewati empat bak resapan berikutnya, yang berupa kolam semen di tanah.
Air
dari selokan tersebut di saring untuk memisahkannya dari sampah-sampah
plastik atau daun yang ikut terbawa arus. Namun terkadang, sambung dia,
ada sampah plastik yang ikut terbawa ke tempat kualisi atau mixer.
Sehingga, dia harus bekerja ekstra untuk membersihkannya. Setelah itu,
air memasuki bak endapan. Air itu kemudian di pompa ke bak tampung.
Akan tetapi, imbuh dia, mesin pompa terkadang rusak. Begitu pula mesin
pengukur kadar Ph. Mesin pengukur tersebut masih bisa digunakan, namun
enam bulan terakhir ini terjadi korsleting kabel. Akibatnya, kadar Ph
air bisa terpantau dengan baik. Akar pohon sri rejeki, pisang hias, dan
sansivera serta zeolit membantu proses penyaringan limbah.
Hasilnya,
air yang tadinya berwarna keruh menjadi bening kehijauan. “Warna hijau
karena pengaruh akar pohon. Sedangkan bau air ini berasal dari akar
yang mebusuk,” terang Tuhaji. Dia menambahkan, pada umumnya warga
sekitar UPL menganggap tempat tersebut kurang berperan dalam pengolahan
limbah. Namun dia maklum. Daya tampung UPL hanya kurang lebih 400 m3.
Sementara, limbah batik di Jenggot berkisar 700 m3 per hari. Belum
lagi, terkadang air limbah dari Kabupaten Pekalongan mengalir ke UPL
tersebut.
Dia
berpendapat, setidaknya UPL Jenggot mengurangi dampak buruk pencemaran
limbah batik. Dia menunjukkan beberapa polybag berisi tanaan cabai.
Tanaman tersebut bisa tumbuh dan berbuah dengan disirami air hasil
pengolahan limbah. Menurutnya, tenaga kerja UPL Jenggot perlu di
tambah.
Saat ini ada empat petugas yang bergiliran jaga setiap hari,
kecuali Jumat. Pria yang telah bekerja di UPL sejak 2005 ini juga
berharap, dirinya diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Apalagi, dia
juga bertugas mencabuti rumput-rumput liar yang mengganggu proses
penyaringan limbah. Dia juga harus menghidupi dirinya dan istri yang
bertempat tinggal di Panjang Baru. (*)
(SUMBER : RADAR PEKALONGAN, 19-06-2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar