Masihkah PKS Antirasuah?
REPUBLIKA.CO.ID, Jatinangor,
Sembilan tahun silam. Seusai shubuh, saya masih membawa 10 boks donat
untuk dijual. Donat beraneka rasa itu saya sebar ke beberapa kos-kosan.
Sisanya, ke warung makan.
Untungnya lumayan. Jika habis, ada laba Rp 4.000 untuk setiap boks
berisi 12 donat. Namun, saya tidak mengantongi sepeser pun margin dari
berdagang. Uang itu didonasikan untuk kebutuhan kampanye Partai
Keadilan Sejahtera pada Pemilu 2004.
Ketika itu, saya memang 'menjabat' sebagai anggota bidang dana usaha
(danus) di Dewan Perwakilan Ranting PKS, Hegarmanah, Jatinangor,
Sumedang. Bukan hanya donat, bidang usaha kami bervariasi dari jualan
yoghurt, pulsa, hingga majalah. Jika kurang, partai pun mewajibkan
semua kader untuk menyumbang dengan gerakan lima ribu rupiah (Galibu).
Semua kami lakukan demi menegakkan prinsip sundukuna juyughuna. Uang
kami, ya dari kantong kami. Para pimpinan ketika itu memang tidak
pernah meminta-minta uang untuk kampanye dari sponsor eksternal.
Kampanye pun bisa dilakukan dengan merdeka. Ketika menang, tidak ada
pesanan apa pun yang memberatkan pundak partai. Citra sebagai partai
bersih pun bisa terpelihara.
Selepas mahasiswa, saya memang tidak lagi mengikuti kegiatan partai.
Saya hanya satu-dua kali mengikuti pengajian. Di sana, beberapa kabar
tak sedap muncul ke telinga. Teman-teman di akar rumput sering mengeluh
dengan kehidupan duniawi para 'imam' di Senayan. Beberapa ustaz lekat
dengan tampilan perlente. "Lihat saja jam tangannya kan harus Rolex," kata seorang kawan.
Sedikit demi sedikit, partai dakwah itu pun harus diguncang masalah
internal. Beberapa politikus asal PKS mulai tertimpa musibah. Kasus
Misbakhun yang dijadikan tersangka akibat tindak pidana penggelapan
mulai membuat muka partai tercoreng. Ditambah, nakalnya seorang Ustaz
Arifinto yang kedapatan membuka video porno di tengah rapat paripurna
DPR.
Kini, badai itu mencapai klimaks. Rabu (30/1) lalu, Presiden PKS
Luthfi Hasan Ishaaq resmi ditetapkan sebagai tersangka. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenakan Luthfi dengan pasal penyuapan,
yakni Pasal 12 huruf a atau b dan atau Pasal 5 ayat 2 dan atau Pasal 11
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. PKS harus meletakkan
mahkota sebagai satu-satunya partai antikorupsi.
Luthfi diduga akan menerima uang muka senilai Rp 1 miliar sebagai
imbalan atas jasanya mengegolkan impor daging sapi PT Indoguna Utama.
Versi KPK, Luthfi mengutus Ahmad Fathanah (AF) ke Hotel Le Meridien,
Jakarta, untuk mendapatkan uang tunai yang sudah dipisah. Rp 980 juta
untuk Luthfi, sedangkan 20 juta dibagi rata untuk AF dan seorang
perempuan cantik bernama Maharani.
Para kader - termasuk saya sebagai eks kader - dipaksa harus kembali
berkernyit. Kebanyakan masih menengadahkan tangannya kepada Tuhan agar
sangkaan KPK itu tidak benar. "Itu fitnah," ujar seorang kader senior.
Banyak kader menilai penangkapan tersebut janggal. Sebagai seorang
anggota komisi I, Luthfi dinilai tidak berwenang untuk mengurus soal
impor. Kader PKS dari Dewan Perwakilan Ranting Pasar Minggu, Deni
Saiful, menganalisis konstruksi dari penangkapan Luthfi kacau balau.
"Yang bikin skenario kurang profesional," katanya menegaskan dalam
pesan BlackBerry, Kamis (31/1).
Begitu juga, aksi main sergap penyidik KPK seusai Luthfi dan
kawan-kawan menggelar konferensi pers di kantor DPP PKS, Jl Tb
Simatupang, Jakarta Selatan, Rabu malam. Alasan KPK, Luthfi dijemput
paksa karena tertangkap tangan. Jika ditilik pada kasus itu, Luthfi
tidak berada di hotel. Di Le Meridien, penyidik hanya menangkap empat
orang, tidak termasuk Luthfi.
Bagaimana jika KPK ternyata benar? Presiden itu ternyata memang
berniat untuk menerima uang suap. Uang yang diajarkan berstatus haram
dalam setiap liqoat. Saya kembali harus menepuk bahu para
kolega PKS di akar rumput. Mengusap keringat mereka yang bekerja tanpa
pamrih. Demi sebuah jargon, dakwah antirasuah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar