Harapkan Legalisasi Tanah Agar Diakui Keberadaannya
MERASA
bermukim di tanah yang bukan miliknya, warga poncol merasa resah. Sebab
sewaktu-waktu dapat 'diusir' dari tempatnya. Selintas memang, warga tak
memiliki beban apapun. Mereka menjalani rutinitasnya sehari-hari dengan
kondisi normal. Sebagian besar warga, tengah beristirahat karena
matahari telah berada tepat diatas kepala. Mereka tampak nyaman
beristirahat di dalam rumah masing-masing yang rata-rata berukuran lima
kali 10 meter tersebut. Anak-anak juga terlihat ceria bermain di atas
keramik yang tak sama bentuknya satu dengan yang lain.
Para
keluarga kecil di sana, seakan mendapatkan 'berkah' terbesar. Karena
dapat mendirikan rumah bagi keluarganya. Meskipun masih semi permanen,
mendirikan rumah secara mandiri sudah merupakan satu jawaban akan
kebutuhan hidup. Dengan telah pastinya tempat tinggal, maka warga
disana dapat keluar untuk mengejar kebutuhan lainnya. Namun, kondisi
berbalik akan terlihat saat mereka ditanya mengenai status tanah yang
mereka tempati. Keluhan dan berbagai macam harapn akan lebih banyak
muncul dari pada ketenangan. Kebutuhan akan tempat tinggal yang tinggi,
sedangkan harga tanah dan rumah yang semakin mahal, membuat warga RT 2
RW 5. Kelurahan Poncol terpaksa menghuni tanah eks bengkok yang
sebelumnya diperuntukkan bagi perangkat desa, dan tentu saja tanpa izin.
Sekitar
tahun 2004, sebanyak 75 KK yang sebelumnya hanya berjumlah 52 KK sudah
berada disana. Entah bagaimana awalnya. Warga disana mematok tanah yang
dahulu berbentuk sawah tersebut, untuk kemudian diuruk dan didirikan
rumah. Dengan status demikian, warga sadar bahwa sewaktu-waktu mereka
dapat disingkirkan. “Untuk itu kami berharap kepada pemerintah agar
bisa berlaku bijak dengan mengiinkan warga untuk menempati tanah
disana,” tutur Wasbari, Ketua RT 2 RW 5 mewakili warga yang lain.
Bahkan, lanjutnya, warga siap untuk mengangsur pembayaran tanah
berapapun nilainya, dan berapapun nilainya, dan berapapun lamanya
jangka waktu yang ditentukan. “Intinya, mereka ingin legalisasi agar
diakui dan tidak hidup dalam status melanggar,” tuturnya lagi.
Wasbari
kemudian menceritakan, awal warganya menghuni tanah tersebut.
Dikatakannya, sebelum didirikan pemukiman tanah. Dulunya sudah tiga
kali dibuat lapangan oleh masyarakat saat sawahnya dalam kondisi
kering. Kemudian, saat melihat tanah eks bengkok yang ada di belakang
SMP 7 telah dihuni, warga mempunyai kesimpulan bahwa eks bengkok boleh
dipakai. Dari diskusi sekelompok warga, kemudian mereka sepakat untuk
mematok tanah disana. “Akhirnya kami patok tanah disana dan dibagi –
bagi untuk warga asli Poncol,” tuturnya. Dikatakannya, tindakan warga
tersebut tanpa seizin tapi sepengetahuan pihak kelurahan. Diperkirakan
Wasbari, kelurahan tak bisa berbuat banyak. Mengingat harus melawan
warganya sendiri. “Sejak itu jumlah awal rumah yang hanya 52 terus
bertambah sehingga menjadi 75 KK, karena masih banyak juga sempalan
tanah yang tersisa dan masih dimungkinkan dibangun rumah,” imbuhnya
lagi.
Bertahun
– tahun hidup tenang. Kini warga kembali resah. Sebab permasalahan
status tanah tersebut kembali muncul ke permukaan. Dari awal hingga
saat ini, harapan warga disana hanya satu, tanah yang ditempatinya
dapat dilegalisasi, sehingga diakui menjadi milik mereka. Berapapun
biaya dan jangka waktu pembayaran, akan disanggupi oleh warga. Ditanya
apakah pernah ada tanah yang diperjual belikan. Wasbari mengakui hal
itu pernah terjadi. Namun, dalam istilah warga bukanlah jual beli.
Tetapi hanya melimpahkan penempatan saja dengan membayar uang
pengurungan atau pembangunan rumah yang sudah dikeluarkan penghuni
sebelumnya.
Dikatakannya
lagi, beberapa waktu yang lalu dirinya dan warga lain mendapatkan tugas
langsung dari Pemkot Pekalongan untuk mendata penghuni berakhir rumah
disana. Namun dirinya belum mengetahui ada tujuan apa dari pendataan
yang dilakukan itu. “Intinya saya mewakili warga meminta kebijaksanaan
Pemkot Pekalongan agar melegalisasi dan mengizinkan tanah ini untuk
dimiliki warga. Sehingga kami dapat lebih tenang hidup disini,”
harapnya. (*)
(SUMBER : RADAR PEKALONGAN, 04-02-2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar