Kamis, 19 September 2013

Pasar terbesar Blackberry di Indonesia

Blackberry Emoh Investasi di Indonesia, Apa Kata Dirut PT INTI?

Timlo.net — Sebagian masyarakat mungkin masih ingat kasus Blackberry yang tidak mau investasi di Indonesia. Hal yang miris dari kasus ini adalah, pasar terbesar Blackberry merupakan masyarakat Indonesia, namun mereka justru investasi di Malaysia.

Menurut Direktur Utama PT INTI, Tikno Sutisna, kasus Blackberry tersebut adalah bukti masih belum mendukungnya aturan bisnis produksi ponsel di Indonesia. Salah satu aturan yang tidak mendukung produksi ponsel dalam negeri adalah adanya pajak impor komponen ponsel. Padahal untuk impor ponsel utuh tidak dikenakan pajak impor.

“RIM (Blackberry) yang pakai kan banyak di Indonesia, tapi kenapa mereka bangun dan investasi di Malaysia. Kenapa dia enggak mau buka di Indonesia ?, karena kepastian hukum dan segala macam itu. Ini menyangkut investor,” kata Tikno ketika berbincang bersama merdeka.com di Kantornya, Jakarta, Rabu (18/9).

Selain belum jelasnya aturan kepastian hukum, di Indonesia sendiri belum tercipta ekosistem produksi ponsel yang baik. Pemerintah tidak bisa mengatur industri komponen sebagai industri pendukung produksi ponsel sendiri. Untuk produksi ponsel di dalam negeri membutuhkan komponen impor yang cukup banyak mencapai 70 persen. Namun dalam mengimpor, pengusaha dikenakan pajak. Menurut Tikno Industri komponen di Indonesia tidak ditata dengan baik.

“Kalau industri komponen tidak ditata dengan baik nanti harga ponselnya jadi mahal dan masalah juga. Kita pasar yang banyak kok semua ponsel di impor. Produksi di sini kan ada nilai tambah. Penggunaan valas untuk impor jadi sedikit. Regulasi komitmen misalnya seperti di China yang dipaksa itu boleh berjualan tapi harus produksi di sana juga,” katanya.

PT INTI yang pernah memproduksi ponsel sendiri mengakui ekosistem bisnis produksi ponsel di Indonesia masih kacau. Hal ini berdampak pada penutupan produksi ponsel buatan anak bangsa bermerek IMO tersebut. PT INTI tidak bisa bertahan karena jeratan pajak yang tinggi.

“Ini karena perdagangan bebas apakah mungkin masih bisa melakukan perbaikan. China waktu menandatangani WTO itu mereka menyiapkan segala halnya, kita tidak,” tutupnya.

sumber : merdeka.com

 

Tidak ada komentar: