Jumat, 13 September 2013

Permintaan maaf pemerintah Belanda

Belanda Minta Maaf kepada RI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah Belanda secara resmi meminta maaf kepada Indonesia atas kekejaman perang yang mereka lakukan. Khususnya pembantaian massal yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1949.

Laman Aljazirah, Kamis (12/9), melaporkan, Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd de Zwaan secara resmi mengumumkan permintaan maaf dalam sebuah seremoni yang digelar di Jakarta. Permintaan maaf ini khususnya ditujukan kepada mereka yang dieksekusi oleh tentara Belanda, tanpa melalui proses pengadilan. “Atas nama Pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas segala hal,” ujar dia.

Sebelumnya, Pemerintah Belanda sudah meminta maaf dan membayar kompensasi  kepada keluarga korban untuk sejumlah kasus tertentu di Indonesia. Namun, Belanda tidak pernah menyampaikan permintaan maaf dan menawarkan kompensasi bagi para korban eksekusi secara umum selama masa kolonial. Apa yang disampaikan de Zwaan adalah permintaan maaf pertama Pemerintah Belanda atas kekejaman yang dilakukan selama era kolonial.

De Zwaan mengatakan, Pemerintah Belanda menyadari tanggung jawab besar terhadap para janda korban pembantaian. Ia pun menyebut salah satu contoh, yakni pembantaian yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Rawa Gede, Karawang, Jawa Barat.

De Zwaan berharap, permintaan maaf ini dapat menutup sejarah gelap bagi mereka yang mengalami dampak langsung dari kekejaman tersebut, utamanya mereka yang mengalami kekejaman tentara Belanda pada masa Kemerdekaan Indonesia 1945 dan agresi militer Belanda yang berakhir pada 1949.

Sejarah mencatat, pasukan khusus Belanda melakukan serangkaian eksekusi di beberapa daerah kala menggelar agresi militer di Indonesia pascakemerdekaan. Pembantaian secara membabi buta ini menyebabkan ribuan nyawa rakyat Indonesia melayang. Pemerintah Indonesia menyatakan, 40 ribu orang dieksekusi antara tahun 1945-1949. Namun, Pemerintah Belanda menyebutkan, korban yang tewas hanya beberapa ribu orang.

Sulawesi Selatan menjadi saksi salah satu aksi paling brutal yang dilakukan pasukan Belanda. Pada 28 Januari 1947, pasukan Belanda mengeksekusi 208 orang di sebuah lapangan, di depan kantor pemerintah setempat. Adalah Kapten Raymond Westerling, sang komandan aksi pembunuhan massal itu.

Pria yang berasal dari KNIL (Royal Netherlands East Indies Army) itu bersama pasukannya mengeksekusi warga dari puluhan desa dalam jangka waktu tiga bulan. Tujuan eksekusi itu adalah untuk menghentikan  perlawanan rakyat terhadap penjajahan Belanda. Westerling dan tentara Belanda tak pernah dituntut atas kejahatan itu.

Selain menyampaikan permintaan maaf, Pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi senilai 20 ribu Euro (sekitar Rp 301 juta) kepada para janda korban yang tewas dalam berbagai aksi pembantaian itu.

Langkah Pemerintah Belanda itu disambut gembira para keluarga korban. “Saat menerima uang dari Belanda, saya senang. Tapi, saya juga tidak bisa melupakan apa yang telah terjadi pada suami saya. Saya sangat sedih jika teringat hal itu,” kata Nani, wanita berusia 93 tahun, janda dari salah satu korban.

Hal senada dikatakan Andi Mondji yang ayahnya merupakan salah satu korban pembantaian di Sulawesi Selatan. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika ayahnya dibunuh tentara Belanda. “Tak hanya ayah saya, tapi nenek saya pun ditembak mati, juga beberapa anggota keluarga yang lain. Bayangkan, di usia yang masih sangat muda saya harus menyaksikan semua kekejaman itu,” kata Mondji.

Meski demikian, ada ahli waris korban yang menolak permintaan maaf dan kompensasi dari Belanda. Salah satunya adalah Abdul Aziz Kahhar Muzakkar. Dia adalah putra Kahhar Muzakkar, salah satu korban kekejaman Westerling.

Secara tegas, ia menolak permintaan maaf Pemerintah Belanda atas peristiwa yang dikenal sebagai “korban 40.000” jiwa itu. Ia menilai, jika Pemerintah Belanda berniat meminta maaf, seharusnya akui dulu kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Karena selama ini, kata Aziz, Belanda hanya mengakui kemerdekaan Indonesia pada penyerahan kedaulatan RIS pada 27 Desember 1945.

Aziz yang juga anggota DPD asal Sulsel ini melihat, tak ada niat baik sesungguhnya dari permintaan maaf maupun pemberian kompensasi itu, terlebih kompensasi itu hanya diberikan kepada 10 janda dan ahli waris korban. Itu sangat tidak sebanding dengan jumlah korban. “Kalau ada 10 orang yang mendapat santunan, ahli waris korban lainnya bisa merasa ada diskriminasi. Ini tidak fair.” n ichsan emrald alamsyah ap/reuters ed: wachidah handasah



Tidak ada komentar: