Senin, 16 Juli 2012

Perbedaan Dalam Menentukan Awal Bulan

Wawancara: Muhammad Anwar Syalabi, Wakil Mufti Dar Al-Ifta Mesir
"Rukyat Dulu, Baru Hisab"

Wakil Mufti Dar Al-Ifta Mesir, Prof Dr Muhammad Anwar Syalabi.

Problematika penetapan awal bulan, juga terjadi di negara Islam mancanegara. Perbedaan yang muncul kemudian, dinilai sebagai dinamika dalam pengambilan hukum.

Fenomena itu pun, menurut Wakil Mufti Dar Al-Ifta Mesir, Prof Dr Muhammad Anwar Syalabi, pernah terjadi dalam diskursus kajian fikih. Ini bila kaitannya dengan negara satu dan negara lain.

Tetapi, menurutnya, bila perbedaan muncul dalam satu negara mestinya tak boleh terjadi. “Perbedaan tidak dibenarkan dalam kasus ini,” katanya.

Solusinya ialah mengembalikan pada penetapan pemerintah. Berikut petikan lengkap perbincangannya dengan wartawan Republika, Nashih Nashrullah, di sela-sela Multaqa Nasional Alumni Al Azhar II, Jakarta, Sabtu (7/7).

Bagaimana prinsip penetapan awal bulan?
Soal penetapan awal Ramadhan, Rasulullah SAW telah memastikan caranya dan tidak memberikan ruang ijtihad di dalamnya, yaitu penggunaan rukyat. Ini sesuai dengan sabdanya: “Berpuasa dan berbukalah kalian karena me lihat hilal. Jika mendung menutupinya maka sempurnakanlah Sya’ban 30 (hari).”

Prinsip rukyat pada dasarnya ialah melihat dengan mata telanjang. Jika dengan cara ini bisa tercapai maka perbedaan mutlak tidak akan ada, entah esok atau kini. Tetapi, bila terhalang mendung dan sulit melihat hilal maka merujuk pada penggunaan hisab astronomi.

Hal ini sesuai dengan Keputusan Muktamar Jeddah pada 1990-an. Inti ketetapannya, hisab astronomi dipakai untuk alternatif rujukan (itsbat) bukan menegasikan (nafy). Misalnya, berdasarkan perhitungan hisab yang akurat diketahui bahwa besok Ramadhan, tetapi rukyat gagal melihat hilal maka boleh merujuk pada hisab.

Tetapi, seandainya hasil hisab menyebut Sabtu awal Ramadhan dan pada Kamis hilal tampak, maka hisab tidak berlaku. Meski demikian, tidak boleh hanya bergantung pada hisab. Rukyat tetap yang utama.

Silang pendapat soal isbat, sahkah?
Perbedaan penetapan seperti itu ada dalam fikih. Baik di era salaf atau kontemporer. Akan tetapi, perbedaan yang mencolok pada poin apakah tiap negara mempunyai mathla' (titik terbit) sendiri? Atau, apakah negara-negara yang bertemu waktunya walau sebagian malam dianggap satu mathla’?

Ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama berpandangan, tiap negara punya mathla’. Yang saya maksud negara di situ, bisa satu wilayah negara dengan sistem pemerintahan yang tunggal. Bukan kota per kota atau provinsi per provinsi. Misalnya, jika Malaysia melihat hilal, sementera Indonesia negatif, maka Malaysia boleh saja berpuasa.

Sedangkan pendapat lainnya, dan yang saya anggap benar, yaitu bila negara-negara itu bertemu walau sebagian kecil malam; 15 menit, 10 menit, dan seterusnya bisa disebut bagian. Jika demikian, maka hasilnya bisa diberlakukan untuk negara-negara lain.

Contoh, jika di Mesir terlihat maka Indonesia juga bisa ikut ke Mesir. Sekalipun, misalnya, selisih waktu antarkedua negara itu kurang lebih empat jam. Pendapat ini dijadikan dasar di Mesir menyikapi Ramadhan dan Syawal. Merujuk pada pendapat-pendapat di atas, semuanya bisa jadi benar. Ini karena, kedua pendapat tersebut memiliki argumentasi.

Bagaimana bila perbedaan terjadi di satu negara?
Perbedaan dalam satu negara tidak dibenarkan. Sebagai contoh di Mesir. Bila di Aswan, Qena, atau Sohag, ada yang mengaku melihat hilal, sementara di Kairo negatif, kemudian penetapan masing-masing wilayah berbeda maka itu salah. Karena masih dalam negara yang sama. Apalagi ada lembaga fatwa ataupun instansi pemerintah di sana yang memiliki otoritas penetapan berdasarkan masukan badan-badan astronomi dan merujuk dalil-dalil syariat.

Maka, tidak boleh berbeda. Kaidah fikih menyatakan: “Ketetapan hakim (pemerintah) menghilangkan perbedaan.” Dalam kasus Indonesia, jika terdapat lembaga otoritatif yang telah ditunjuk pemerintah terkait itsbat, maka ketetapannya mengikat dan wajib diikuti oleh segenap penduduk. Karena pemerintah juga berlaku sebagai qadi.
Ulama sepakat soal ini. Tidak boleh segelintir atau sekelompok orang menolaknya. Dengan alasan, misalnya, Arab Saudi, ataupun negara lainnya tidak melihat hilal. Apalagi mempublikasikannya jauh hari. Pengumuman itsbat yang berlaku sepanjang sejarah ialah malam usai pelaksanaan rukyat.

Apakah ketentuan itu berlaku untuk Dzulhijjah?

Ada pengecualian terkait Dzulhijjah. Ulama bersepakat, wajib mengikuti penetapan Arab Saudi. Mengapa? Karena erat kaitannya dengan pelaksanaan wukuf di Arafah dan tidak menimbulkan kebingungan serta perpecahan.
Sekalipun misalnya, berdasarkan hisab dan rukyat negara tertentu berbeda dengan Arab Saudi. Ini pernah terjadi pada 2005. Dar Al Ifta ketika itu telah menetapkan Idul Adha. Setelah itu, Dewan Mahkamah Tertinggi Arab Saudi mengumumkan berbeda. Dar Al Ifta pun akhirnya mengikuti ketetapan Arab Saudi agar umat Islam bersatu.

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Anfaal: 46). Jika umat pecah maka musuh Islamlah yang diuntungkan.
sumber:www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/07/14/m73rcp-wawancara-muhammad-anwar-syalabi-wakil-mufti-dar-alifta-mesir

Tidak ada komentar: